Penulis : AGUS DIAN ZAKARIA S.E
Jurnalis Radar Tarakan
Kalpress – Mengawali tahun 2021, ibu pertiwi dihadapkan pada cobaan dari rentetan musibah yang terjadi di antero tanah air. Tentu semua platform media menyajikan pemberitaan-pemberitaan yang menyedihkan dalam tugas menggambarkan kondisi terkini pada khalayak ramai.
Korban jiwa, kerugian, dan dampak kerusakan menjadi pemandangan yang menghiasi semua platform dari layar kaca, beranda media sosial hingga siaran dari udara. Sebagian besar berita diakui cenderung kepada duka dalam menjelaskan perkembangan kondisi saat ini. Semua terupdate detik demi detik dalam memberikan penyegaran informasi kepada masyarakat. Tentu semua dilakukan tidak secara mudah. Setidaknya, pers harus sedikit berjibaku dalam mendapatkan itu. Kita pasti sepakat, jika pembaca maupun penonton tidak menginginkan adanya hal yang tersembunyi dalam setiap kejadian. Tentu semua pembaca atau penonton berhak mengetahui dan menagih atas kelengkapan fakta yang ada.
Namun, upaya dan kerja keras dari sajian yang diberikan pers tidak selamanya diangap hal positif bagi seluruh khalayak. Pemberitaan pers yang kerap melaporkan kondisi menyedihkan dianggap sebagai strategi bisnis untuk mendapatkan perhatian publik. Hal itu kerap dialami pers dalam meliput setiap peristiwa dan musibah yang terjadi. Tak heran lahirnya istilah Bad News is Good News. Padahal, di kala pers mempertarukan keselamatan, kesehatan dan tenaga untuk dapat memberikan laporan mendetail di lapangan, justru hal tersebut menjadi bomerang bagi pers sendiri.
Alih-alih mendapatkan apresiasi, sebagian pers justru dianggap sebagai lembaga yang menjual kesedihan demi rating semata. Sederhanya, pers dianggap lembaga yang mencari kesenangan di atas penderitaan korban. Sial, dalam situasi tertentu, posisi pers ibarat memakan buah simalakarma. Mengapa demikian, jika saja pers tidak memberikan informasi lengkap tentang kondisi korban di lapangan, maka pers dianggap tidak profesional karena menyajikan informasi yang tidak lengkap. Namun jika ulasan menyajikan kondisi semua sisi, maka perhatian publik justru cenderung ke sisi korban yang juga berpotensi menimbulkan tanggapan negatif.
Tidak dipingkiri, sebagian masyarakat Indonesia memang dilahirkan sebagai mahkluk maha benar. Di saat sebagian orang membutuhkan informasi aktual dan faktual dari berbagai sisi, sebagian lagi termotivasi mengembangkan bakat mencaci demi eksistensi.
Sebagai agen kontrol sosial dan penyambung lidah dan telinga masyarakat, dalam situasi apapun pers terus bekerja tanpa jedah. Mengingat Informasi adalah napas kehidupan. Pers bertanggung jawab atas berbagai kejadian, persitiwa dan fenomena di setiap belahan bumi.
Selain itu, di era krusial politik dan mewabahnya konspirasi saat ini, pers hadir mengemban tanggung jawab dalam mempertahankan hak asasi. Jika saja pers tidak ada dalam kehidupan sosial sebuah negara, maka sebuah kebijakan dapat bersifat absolut tanpa adanya kritik. Tanpa pers, negara dapat menculik dan membunuh setiap warga negara yang mengkritik tanpa harus terungkap ke publik. Tanpa pers, publik tidak mengetahui adanya peristiwa yang terjadi di belahan bumi saat ini. Tanpa pers, publik tidak mengetahui adanya korupsi yang dilakukan pejabat di sudut negeri. Tanpa pers demokrasi kita akan rontok dan mati.
Patut disadari, sebagai manusia pers tentu tidak lepas dari kesalahan dan kekhilafan. Namun, sebagai pegiat berita pers terus berbenah dan terus berinovasi dalam menyempurnakan sajian informasi yang dibutuhkan khalayak.
Berbagai peristiwa dan sejarah telah mencatat, pengaruh pers cukup besar dalam mengubah peradaban. Pers turut andil mengambil bagian dari perjuangan revolusi maupun proganda dalam sejarah. Meski tidak sepenuhnya digunakan dalam hal positif, namun pers sejak lahir turut menjadi saksi terhadap berbagai peristiwa sejarah.
Sebut saja perjuangan Indonesia dalam kemerdekaan, di mana negara membutuhkan media massa yang dapat menyebarkan maklumat dan pesan dalam membakar semangat perjuangan.
Gagasan dan gerakan nasionalisme di Indonesia sangat membutuhkan peranan pers. Bahkan dalam catatan sejarah, pers menjadi salah satu media utama yang digunakan oleh golongan elit modern Indonesia dalam menyampaikan perlawanan, kritik terhadap kebijakan Belanda serta mobilisasi massa.
Namun tak dipingkiri, Pers bagaikan pisau bermata dua yang dapat digunakan untuk perjuangan maupun kejahatan. Dalam buku “Munculnya Elit Modern Indonesia (1984)” karya Van Niel, pemerintahan Hindia Belanda juga memanfaatkan pers untuk membela kepentingan sosial dan politik mereka.
Bahkan di sepanjang awal abad 19, Pribumi dan pemerintah Hindia terus berperang dengan menggunakan pers sebagai senjata. Alhasil, pada tahun-tahun tersebut, banyak terjadi pemberedelan surat kabar dan penahanan tokoh pergerakan nasional seperti Ki Hadjar Dewantara, Ciptomangunkusumo, Abdul Moeis, Semaoen, Tirto Adhi Soerjo dan masih banyak warga pribumi lainnya.
Berbagai media pribumi dibredel akibat terus memberitakan kritikan terhadap pemerintahan Hindia belanda. Bahkan tak sedikit pemilik media lokal harus mendekam dan diasingkan di penjara oleh Belanda kala itu. Diantaranya ialah, Tirto Adhi Soerjo pada 1912 dan Ki Hadjar Dewantara di tahun 1913.
Meski demikian, melalui peran media lah Soekarno berhasil mengumumkan proklamasinya pada 17 Agustus 1945 melalui saluran Radio Republik Indonesia (RRI) dan didengarkan seluruh masyarakat Indonesia di tanah air.
Selama peradaban manusia modern, pers memiliki kontribusi besar dalam berbagai peristiwa penting. Jika memang pers diciptakan hanya untuk keuntungan komersill semata, maka dipastikan Indonesia akan sulit mendapatkan kemerdekaannya.
Meski tidak dipungkiri, pers juga tentu membutuhkan adsense agar dapat terus eksis dalam aktivitasnya, namun di suatu sisi, pers juga memiliki kaidah-kaidah dan aturan dalam menjaga integritasnya.
Selamat Hari pers nasional 9 Februari 2021
Salam dari TARAKAN – KALIMANTAN UTARA.