Punya 6 Anak, Ibu Nemi Mengais Sampah Demi Melanjutkan Hidup.

Tarakan, Kalpress – Menjadi pemulung bukanlah cita-cita Ibu 6 orang anak ini, namun karena kondisi yang sulit memaksanya untuk mengais sampah agar dapat melanjutkan kehidupan.

Nemi seorang ibu rumah tangga berusia 40 tahun yang saat ini tetap semangat menjalani profesinya sebagai pemulung agar tetap bisa menyambung hidup.

Bacaan Lainnya

Awal terjun ke dunia pemulung 3 tahun lalu, saat itu ibu Nemi dan Suami Sudarto (60) memutuskan untuk mengadu nasib di Kalimantan dengan maksud bekerja di sebuah perusahaan sawit yang dijanjikan sebuah kantor yang merupakan tempat awal ia bekerja. Namun, setelah hitungan bulan bekerja, upah dan jam kerja tidak sesuai seperti yang digambarkan seseorang, sebelum ia dan keluarganya memutuskan pindah ke Kalimantan. Oleh sebab itulah Nemi dan Suami memutuskan untuk berhenti dari pekerjaan tersebut.

“Awalnya kami pindah dari Jakarta dibawa UPT nya ke Sebuku di perkebunan Kelapa Sawit, cuma waktu tidak sesuai dengan perjanjian akhirnya kami cuma bisa bekerja 2 bulan. Akhirnya kami memutuskan berhenti karena beban kerja yang berat dan upah yang sangat minim,” ujarnya, (06/12/2020).

Setelah memutuskan berhenti, akhirnya ia dan keluarga sempat bingung karena sulitnya mencari pekerjaan. Hal itu karena ia dan suami memiliki keahlian yang minim serta tidak memiliki ijasah. Akhirnya ia dan keluarga berpindah ke Kota Tarakan untuk mencari peruntungan baru.

Setelah pindah ke Tarakan, ia mendapatkan pekerjaan sebagai pembantu dapur pada sebuah rumah makan. Lagi-lagi karena penghasilan yang cukup minim, alhasil hal itu tidak dapat menutupi kebutuhan rumah tangganya. Dan akhirnya mulailah ia dan suami memasuki dunia menjadi seorang pemulung.

“ke sini dibawa menantu. Saya sempat kerja di rumah makan, tapi karena gaji hanya Rp 1 juta itu tidak bisa menutupi biaya hidup kami. Akhirnya kami memutuskan untuk menjadi pemulung,” tukasnya.

Di dalam lubuh hati kecilnya, ia bahkan tidak pernah terpikir untuk menjadi seorang pemulung. Namun kondisi tuntutan hidup, membuatnya mengalahkan rasa ego dan gengsinya sendiri. Walau begitu, ia tetap bersyukur karena masih mendapatkan pekerjaan yang halal.

“Mau bagaimana lagi mungkin ini sudah menjadi jalan hidup keluarga kami, jadi saya di sini berdua suami saya setiap hari mulung cari barang bekas yang bisa dijual kembali,” tukasnya.

Tak pernah terlintas dipikirannya akan menghabiskan sebagian besar waktunya dalam setiap hari bergelut di atas sampah. Bahkan ia tidak pernah menyangka pernah merasakan makan dari makanan yang di sampah saat menemukan adanya makanan yang dirasa masih layak untuk dicicipi.

“Bagi orang tempat ini dan tempat sumber penyakit. Tapi bagi kami tempat ini penyambung hidup kami. Makan dari sampah, tidur pun dari sampah karena kami mengambil rezeki dari sini. Bahkan kalau kami mendapat makanan yang masih bagus, kami makan makanan itu. Memang hidup kami di Jawa juga sulit, tapi kami masih bisa makan makanan yang cukup layak,” tuturnya mengusap air mata.

Ia menjelaskan, semua pengalaman baru ia dapatkan selama menjadi seorang pemulung dalam 2 tahun terakhir. Baginya, terpaan dan cobaan berat yang dialaminya tidaklah menjadi soal asalkan dapat memberi nafkah pada keluarga.

“Padahal waktu pertama kesini selama seminggu saya tidak bisa makan di tempat ini. Pasti saya pulang ke rumah. Tapi mau bagaimana lagi karena tidak ongkos pulang mahal akhirnya saya coba menahan saja makan di sini,” Sambungnya.

Untuk menjangkau TPA Hake Babu setiap harinya, ia harus menaiki kendaraan umum dari rumahnya. Tentunya, dengan penghasilan yang minim membuatnya harus pandai memanfaatkan uang agar semua kebutuhan dapat tercukupi.

“Rumah saya cukup jauh dari sini saya tiap hari pergi dan pulang naik taksi/angkot kadang juga ada orang yang berbaik hati memberi tumpangan gratis. Di sini alhamdulillah kadang 10 hari bisa dapat  Rp 700 sampai 800 ribu. Jadi penghasilannya bisa digunakan untuk makan, bayar listrik, kontrakan dan membiayai keenam anak saya,” tuturnya.

Walau demikian, 2 dari 3 orang anak yang masih duduk di Sekolah dasar swasta, kerap merasakan kelamnya tagihan sekolah karena pembayaran SPP yang tertunggak.

“Anak saya 6, anak pertama dan kedua sudah menikah yang ke 4 sampai ke 2 masih sekolah dan anak bungsu saya berumur 8 tahun belum sekolah. Alhamdulillah dengan jadi pemulung meskipun sulit bisa lah memberikan makan anak-anak saya. Meskipun yang masih sekolah pun biaya SPP sering menunggak,” tuturnya.

Walau pun hidup dalam garis kemiskinan, namun Nemi tidak mudah patah semangat dan terus berusaha keras dalam bekerja.

“Saat ini belum pernah menerima bantuan apa pun. Karena, kami belum terdaftar sebagai warga kurang mampu. Kami berharap kedepannya pemerintah dapat lebih memperhatikan pemulung di Kota Tarakan dan semoga kedepannya pemulung bisa hidup lebih sejahtera dari sebelumnya,” pungkasnya. (KT/RMA).

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

6 Komentar