PENYEBARAN KONTEN PROVOKATIF (AKAN) MERAJALELA! WASPADALAH! WASPADALAH!

Processed with VSCO with a4 preset

Oleh : Alif A. Putra (Penulis/Dosen FH UBT)

Kalpress – Pemilihan Umum merupakan wujud partisipasi politik rakyat dalam sebuah negara demokrasi. Pelaksanaan pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil akan menjadi cerminan kualitas demokrasi. Pelaksanaan Pemilihan Umum secara langsung untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota, merupakan salah satu agenda utama Reformasi dalam bidang politik dan hukum. Di Indonesia pemilu merupakan suatu wujud nyata dari demokrasi dan menjadi sarana bagi rakyat dalam menyatakan kedaulatannya terhadap negara dan pemerintah.

Bacaan Lainnya

Pemilu diselenggarakan dengan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dengan berlandaskan asas langsung rakyat sebagai pemilih mempunyai hak untuk memberikan hak untuk memberikan suaranya secara langsung sesuai dengan kehendak hati nuraninya, tanpa perantara. Pemilihan yang bersifat umum mengandung makna menjamin kesempatan yang berlaku menyeluruh bagi semua warga negara, tanpa diskriminasi berdasarkan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, kedaerahan, pekerjaan dan status sosial. Setiap warga negara yang berhak memilih bebas menentukan pilihannya tanpa tekanan dan paksaan dari siapa pun termasuk pemilih pemula yang berumur antara 17—20 tahun. Dalam penyelenggaraan pemilu sangat sulit dihindari terjadinya pelanggaran dan sengketa, karena dalam penyelenggaraan pemilu banyak sekali kepentingan yang terlibat, apalagi secara jujur harus diakui, bahwa tingkat kesadaran berdemokrasi masyarakat, relatif masih rendah. Khususnya pada pemilih pemula yang memberi hak pilih pertama kali akan rentan pada tindak pidana khususnya penyebaran konten provokatif melalui media sosial.

Tindak pidana pemilu di Indonesia dalam perkembangannya mengalami banyak perubahan baik berupa peningkatan jenis tindak pidana sampai perbedaan tentang penambahan sanksi pidana. Hal ini menjadi penyebab karena tindak pidana pemilu

semakin menjadi pusat perhatian pemerintah dalam pelaksanaan pemilu yang dilaksanakan dalam beberapa periode pemilu terakhir. Bentuk tindak pidana pemilu pun semakin beragam dan waktunya pun tidak menentu: sebelum pemilihan atau dalam masa kampanye, selama pemilu berlangsung, dan pasca pemilu.

Salah satu jenis tindak pidana pemilu yang semakin berkembang pada saat ini adalah penyebaran informasi palsu atau konten provokatif. Konten provokatif yang sekarang tersebar di media sosial berisikan informasi-informasi palsu yang belum tentu kebenarannya sehingga dapat menimbulkan kekacauan atau bahkan perselisihan antarpendukung pasangan calon kepala daerah. Terlebih, pada 2020 Indonesia akan melaksanakan pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak di beberapa provinsi termasuk Kalimantan Utara serta empat kabupaten yaitu Kabupaten Malinau, Kabupaten Bulungan, Kabupaten Tana Tidung dan Kabupaten Nunukan.
Konten provokatif lebih banyak tersebar di media sosial seperti: Facebook, Twitter, WhatsApp, dan Instagram sekalipun. Modusnya pun bermacam-macam, namun lebih banyak berbentuk penyampaian pesan berantai yang berisikan keburukan-keburukan serta imbauan untuk tidak memilih pasangan calon tertentu. Hal ini sering terjadi sebelum pemilihan dan pasca pemilihan umum. Sebab, sebelum pemilihan oknum yang melakukan penyebaran konten provokatif tersebut akan mengganggu berjalannya praktik demokrasi di Indonesia dan memantik perselisihan, lain lagi saat pasca pemilihan yang lebih banyak berisikan pesan sikap tidak menerima kekalahan dan menjatuhkan pasangan calon yang memenangi pemilihan umum.

Partisipasi politik dalam negara demokrasi merupakan indikator implementasi penyelenggaraan kekuasaaan negara tertinggi yang absah oleh rakyat (kedaulatan rakyat), yang dimanifestasikan keterlibatan mereka dalam pesta demokrasi (Pemilu). Makin tinggi tingkat partisipasi politik mengindikasikan bahwa rakyat mengikuti dan memahami serta melibatkan diri dalam kegiatan kenegaraan. Sebaliknya tingkat partisipasi politik yang rendah pada umumnya mengindikasikan bahwa rakyat kurang menaruh apresiasi atau minat terhadap masalah atau kegiatan kenegaraan. Rendahnya tingkat partisipasi politik rakyat direfleksikan dalam sikap golongan putih (golput) dalam pemilu. Oleh karena itu, tingkat partisipasi politik masyarakat dalam pemilihan umum merupakan hal yang sangat penting pula untuk ditilik, karena rendah atau tingginya suatu partisipasi merupakan sinyal dan indikator penting terhadap jalannya proses demokasi dan pengejawantahan dari kedaulatan rakyat.

Pemilihan umum dapat dikatakan sebagai salah satu sarana demokrasi dan bentuk perwujudan kedaulatan rakyat untuk menghasilkan wakil rakyat dan pemimpin yang aspiratif, berkualitas, serta bertanggung jawab untuk mensejahterakan rakyat. Suatu kategori kelompok pemilih yang sangat menarik untuk diamati dan diteliti lebih jauh adalah pemilih pemula. Pemilih Pemula adalah pemilih-pemilih yang baru pertama kali akan memberikan suaranya dalam Pemilu. Kategori Pemilih Pemula adalah warga negara yang baru pertama kali akan menggunakan hak pilihnya di dalam kegiatan Pemilihan Umum (Pemilu). Mereka bisa berasal dari Warga Negara Indonesia (WNI) yang genap berusia 17 tahun atau belum berusia 17 tahun tetapi sudah pernah menikah.

Pemilih yang berusia muda pada penyelenggaraan pemilihan umum adalah generasi baru pemilih yang memiliki sifat dan karakter, latar belakang, pengalaman dan tantangan yang berbeda dengan para pemilih dari generasi sebelumnya. Sebagian besar pemilih pemula berasal dari kalangan pelajar, berstatus ekonomi baik, dan pada umumnya tinggal di kawasan perkotaan atau sekitarnya. Kelompok ini adalah kelompok umur yang hidup dan tumbuh bersama kemajuan teknologi sehingga tidak dapat dipungkiri bahwa mereka adalah pengguna teknologi seperti internet dan media sosial. Kelompok ini atau biasa menyebut diri mereka sebagai milenial sangat aktif bersosialisasi melalui media sosial sehingga kemampuan mereka pun sangat baik jika dibandingkan dengan generasi sebelumnya. Mereka sangat terbuka untuk mempelajari hal-hal yang baru, kritis dan juga mandiri. Kelompok pemilih muda menghadapi tantangan yang sangat berat, mulai dari perubahan politik dan permasalahan dalam negeri yang tidak kunjung jelas arah penyelesaiannya hingga tekanan-tekanan globalisasi, perdagangan bebas, terorisme, intervensi internasional, dan sebagainya. Perbedaan sifat dan karakter, latar belakang, pengalaman dan tantangan para pemilih muda pemilu perlu dipahami dengan baik, terutama untuk mempersiapkan pemilih muda yang cerdas, kritis dan berorientasi masa depan. Ditambah dengan fakta bahwa para pemilih muda ini adalah pengemban tampuk pimpinan selanjutnya pada saat 100 Tahun Republik Indonesia pada 2045 nanti. Republik Indonesia masih akan tetap ada (exist) pada waktu tersebut akan sangat ditentukan oleh para pemilih muda saat pemilu.

Pengaruh pemilih pemula yang penting dan signifikan pada pemilihan umum sudah disadari oleh beberapa partai politik yang menginginkan pada kandidatnya untuk menarik simpati pemilih pemula tersebut. Bahkan perburuan suara pemilih

muda sudah dimulai sejak pemilu yang sudah diselenggarakan selama dua tahun terakhir yaitu banyak yang sudah mulai memperhitungkan suara dari pemilih muda dalam proses kampanye sehingga tidak jarang berbagai cara dilakukan untuk bisa menghimpun suara para pemilih muda ini. Salah satu yang harus menjadi perhatian khusus adalah pendidikan politik yang masih rendah di kalangan pemilih muda atau bisa disebut juga sebagai pemilih pemula tersebut. Pendidikan politik yang masih rendah membuat kelompok ini rentan dijadikan sasaran untuk dimobilisasi oleh kepentingankepentingan tertentu. Apabila merujuk pada pengalaman masa lalu, contohnya para pemilih muda ini sering diarahkan kepada salah satu pasangan calon dengan membawa muatan-muatan atau jargon-jargon tertentu, baik dengan melalui perang iklan dan sosial media tanpa adanya pemahaman yang mendalam kenapa mereka harus memilih pasangan calon tersebut.

Dari perspektif kebijakan hukum pidana, sebenarnya perlindungan terhadap berbagai aturan hukum yang bersifat administratif merupakan suatu tuntutan yang wajar, sebab berbagai perilaku yang dilarang oleh ketentuan perundang-undangan administratif baru dapat dikualifikasi sebagai tindak pidana, apabila perbuatan tersebut memenuhi unsur-unsur yang menjadi dasar larangan dari aturan administratif tersebut, sedangkan penggunaan sanksi pidana hanya lebih bersifat menguatkan norma administratif belaka. Walaupun demikian dalam hal ini tidak boleh dilupakan bahwa penggunaan hukum pidana mempunyai keterbatasan (banding asas ultimum remedium).

Maka dari itu, menjelang pemilihan kepala daerah serentak 2020 yang akan dilaksanakan di beberapa daerah termasuk Kalimantan serta beberapa kabupaten di dalamnya maka dibutuhkan sebuah upaya preventif atau upaya pencegahan dalam sebagai bentuk penanganan penyebaran informasi palsu atau dalam hal ini konten provokatif di media sosial. Mengingat bahwa penyebaran informasi melalui sosial media lebih rentan pada anak usia remaja yang juga berperan sebagai pemilih pemula yang bisa berdampak pada masa depan mereka jika terbukti menyebarkan informasi palsu yang berisikan konten provokatif menjelang, selama, dan pasca pemilihan kepala daerah serentak 2020.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *