Tarakan, Kalpress – Pernahkah kita berpikir bagaimana sulitnya menjadi seorang guru di sekolah khusus penyandang disabilitas. Tentu sangat tidak mudah bukan, diperlukan kesabaran dalam mendidik siswa, bahkan semua siswa yeng memiliki perhatian khusus yang berbeda pula.
Hal itulah yang dirasakan Sunarusasi (55), seorang guru yang sudah 16 tahun mengabdikan diri untuk mengajar para siswa disabilitas. Sanurisasi bukannya tidak ada pilihan lain dalam meniti karir, tapi kecintaannya pada anak-anak disabilitas yang membuatnya tertarik untuk mengabdikan diri sebagai guru penyandang disabilitas.
“Saya mengajar sudah 16 tahun, tapi di SLB ini baru 4 tahun sebelumnya saya ngajar di (KBK) Kelompok Belajar Khusus kemudian, 2016 di tempatkan di sini. Awalnya itu memang karena senang dengan anak-anak akhirnya tahun 2004 ditawari mengajar siswa disabilitas. Saya tertarik karena mau kepingin tahu bagaimana rasanya mendidik siswa disabilitas,” ujarnya, (08/01/2020).
Lebih lanjut guru ekstrakulikuler kerajinan tangan inj mengakui, mengajarkan siswa disabilitas harus memiliki kesabaran ekstra dan metode pemahaman khusus dalam memberikan materi pembelajaran.
Baginya, kesulitan dalam memberikan pemahaman pada siswa disabilitas merupakan tantangan tersendiri. Ia tidak pernah menyerah memberikan materi secara berulang-ulang agar siswa dapat memahami apa yang dia ajarkan.
“Memang tidak mudah mendidik siswa disabilitas, semua guru tahu itu. Setiap kali menghadapi siswa disabilitas saya selalu tertantang untuk dapat membuat mereka mengerti pelajaran, dan disitulah semangat saya untuk terus mengajar,” tukasnya.
Sekolah Luar Biasa (SLB) Negeri Tarakan, yang berada di Jalan Pangeran Aji Iskandar, Juata Kerikil Kecamatan Tarakan Utara, terdapat empat jenis kelas yakni kelas Tuna rungu (tuli), yang mana lebih diajarkan untuk mendeteksi, mengidentifikasi dan memahami bunyi di sekitarnya.
Tuna daksa (cacat fisik) lebih mengarah ke bina gerak karena bermasalah pada motorik, sehingga harus diajak berjalan, bergerak untuk meraih benda disekitarnya.
“Tuna grahita atau yang lebih dikenal keterbelakangan mental lebih diajarkan untuk mandiri, seperti bersisir, memakai sepatu tanpa bantuan orang lain. Sedangkan Autis dibina untuk bisa berkomunikasi dan persepsi dengan melatih cara berkomunikasi dan bersosialisasi,” Tambah nya.
Ia menerangkan, meskipun SLB keterbatasan tenaga pendidik, ia dan rekannya tetap bersemangat untuk mengajari anak didiknya. Bagaimana tidak, sekolah hanya memiliki 18 guru yang ditugaskan untuk mendidik sebanyak 200 siswa.
“Mereka semua sudah saya anggap sebagai anak sendiri, yang harus kami berikan ilmu, pemahaman tentang banyak hal yang ada biar mereka merasa dunia ini sangat luas dan tidak ada yang tidak mungkin bagi mereka yang terus mau berusaha”, tutupnya. (KT/RMA).