Tarakan, Kalpress – Masih tingginya angka penularan COVID-19, membuat organisasi masyarakat (ormas) Islam, Nahdatul Ulama (NU) mengusulkan agar pelaksanaan Pilkada serentak tahun 2020 ditunda. Sehingga, usulan tersebut menuai perhatian besar dari masyarakat. Alhasil sejak ramainya usulan tersebut, menimbulkan pandangan Pro dan Kontra di masyarakat.
Saat dikonfirmasi, Wakil Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kalimantan Utara Syamsi Sarman mengungkapkan, sejauh ini pihaknya belum melihat secara resmi usulan tersebut. Menurutnya, sejauh ini usulan tersebut hanya bersifat personal yang tidak mengatasnamakan organisasi NU. Sehingga menurutnya, hal tersebut tidak dapat ditanggapi secara resmi.
“Kalau pendapat MUI secara nasional, itu kan baru pendapat pribadinya Sekjen MUI, Anwar Abbas. Sama dengan pendapat NU jika dipandang COVID-19 ini bisa mendatangkan bahaya kluster baru, maka kami juga setuju pak Sekjen di pusat pelaksanaan Pilkada ini bisa dipertimbangkan kembali ditunda. Cuma itu belum pernyataan resmi dari MUI nya. Itu baru personal seorang sekjen,” ujarnya, Senin (21/09/2020).
Meski demikian, secara pribadi ia cukup sepakat dengan usulan tersebut. Mengingat, saat ini penularan COVID-19 masih cukup masif. Menurutnya, jika Pilkada akan dipaksakan maka hal tersebut beresiko cukup besar terjadinya penularan lebih luas.
“Tentu saya tidak bisa menanggapi secara organisasi, tapi secara pribadi memang saya juga sependapat dengan itu. Mungkin itu bisa dicarikan pola menyesuaikan dengan kondisi COVID-19 ini Pilkada Distrik. Misalnya seperti di Amerika, perdaerah-daerah memunculkan pemenangnya siapa-siapa baru sampai ke tingkat nasional. Kalau covid-19 ini kan menghindarkan kerumunan orang. Saya bicara konteks Kaltara saja, dengan kompetisi ketika paslon ini memunculkan persaingan ketat, paslon mungkin akan melakukan segala cara. Bukan dalam artian negatif, secara mungkin akan mengumpulkan masa dan melakukan apapun supaya dia bisa menang,” terangnya.
“Ini biasa tidak mengindahkan lagi protokol kesehatan. Jadi kalau saya sistemnya yang harus lebih benahi, jadi bukan hanya penundaan. Kalau hanya penundaan kita tidak tahu sampai kapan berakhirnya COVID-19,” sambungnya.
Dijelaskannya, pemerintah dapat mengambil contoh dari tahapan pilkada sebelumnya yang banyak ditemukan ketidaktaatan dalam menjalankan protokol kesehatan. Sehingga tentu hal tersebut berpotensi menimbulkan ketidaktaatan berikutnya.
“Kita lihatlah, contohnya deklarasi ajah itu apakah bisa dicegah. Tidak bisa saya lihat misalnya yang 100 orang diundang, nanti dari 100 orang mungkin akan membawa temannya bawa masa 20 sampai 30 itu bisa jadi 2 kali lipat,” terangnya. (KT/RMA)