Dunia Masih Berjuang Berdamai Dengan Dirinya Sendiri

Oleh : Agus Dian Zakaria S.E, Penggiat Literasi

Kalpress– Sejak pertengahan 2019 hingga saat ini, gonjang-ganjing perang dingin antara Negeri Paman Sam (Amerika) dan Negeri Tirai bambu (Tiongkok) masih saja memanas. Berawal dari perang dagang, berlanjut kepada kebijakan politik dan kemudian dilanjutkan intervensi amerika di Laut Cina Selatan dan dilanjutkan oleh memanasnya provokasi militer kedua negara raksasa di planet ini.

Tentu saja,hal tersebut bukanlah kabar yang mengembirakan bagi warga semesta raya. Bisa dibayangkan, jika saja salah satu negara raksasa khilaf, maka pertempuran besar tidak dapat terhindarkan. Pertempuran kedua negara raksasa itu tentu berdampak pada perekonomian atau pun ancaman keamanan negara sekitar dari imbas peluru-peluru yang dihujamkan kedua bela pihak. Terlepas dari jauh atau dekatnya jarak geografis suatu negara, niscaya dampak dampak negatif pasti dirasakan penduduk bumi.
.
Memanasnya hubungan Amerika Serikat dan Tiongkok menjadi satu dari sekian konflik di muka bumi. Hingga hari ini, dunia masih saja berkutat pada persoalan perdamaian, di mana beberapa wilayah di bumi, pun juga masih belum mendapatkan kedamaiannya. Palestina, Syiria, Lebanon, Afganistan, Somalia, Kashmir, bahkan negara kita sendiri Indonesia yang masih saja belum selesai dengan perdamaian di Papua.

Jika sejak dulu konflik tercipta demi mempertahankan kehormatan dan harga diri, kemajuan zaman menimbulkan evolusi pada penyebab peryikaian di muka bumi.
Perebutan wilayah, sumber daya dan rempah, kini konflik telah berevolusi atas kepentingan komersiil. Di mana uang menjadi raja bahkan tuhan bagi umat manusia. Konflik seakan dirancang untuk membuat dunia terkesan sedang tidak baik-baik saja.

Kondisi itu tentu memunculkan sikap protektif dari sebagian besar negara. Dan hal itu diikuti dengan penguatan militer kemudian terjadilah transaksi jual-beli alutista. Pelbagai konflik dan pertempuran diciptakan hanya untuk melampiaskan syahwat ambisi dan menuntaskan bisnis opurtunistis yang harus terus diproduksi. Konflik diciptakan dari beberapa kelompok untuk tetap menghasilkan keuntungan baik dari hasil penjualan Mesin-mesin perang dan jet tempur pembunuh demi keuntungan pendapatan negara.

Konflik di belahan dunia, tidaklah terjadi begitu saja. Latar belakang kepentingan politis dan kapitalis menjadi faktor terbesar terciptanya konflik itu sendiri. Ia hadir sebagai pemuas hasrat dan nafsu duniawi. Nafsu dan hasrat yang membumbung, dikemas menjadi sikap bernama ego.

Kata damai memang mudah diucapkan, namun tidak untuk tindakan. Setiap dari kita memiliki api di dalam diri sendiri masing-masing. Api yang mudah berkobar dan siap membakar siapa saja. Pelbagai hal dapat menjadi pemicu ketegangan siapa saja baik individu, kelompok bahkan sebuah bangsa sekali pun. Konflik bisa tersulut kapan saja, di mana dan dalam situasi apa pun. Saya percaya, konflik akan terus terus selama ketidakadilan dan ketidaksejahteraan masih ada.

Mari kita belajar sepenggal kisah dari konflik pertama yang terjadi di muka bumi menurut kepercayaan agama. Pernahkah kita mendengar atau membaca kisah Qabil dan Habil. Qabil dan Habil merupakan putra nabi adam yaitu manusia pertama menurut keyakinan Agama Samawi. Kisah tersebut menceritakan tentang konflik sekaligus pembunuhan pertama yang dilakukan manusia ke sesamanya. Singkatnya, Qabil membunuh saudara laki-lakinya Habil lantaran kurban persembahannya tidak diterima oleh Allah (God) karena ketidaktulusannya dengan mempersembahkan hasil pertaniannya yang sudah membusuk.

Diriwayatkan dalam suatu hadist, perbuatanya membunuh saudaranya tersebut, Qabil mendapatkan dosa dari setiap tindakan pembunuhan yang terjadi yang dilakukan keturunannya. Hal itu, karena ia adalah orang yang pertama kali melakukan pembunuhan di muka bumi.

“Tidaklah dibunuh suatu jiwa dengan dzalim melainkan dosa pembunuhan itu akan ditanggungpula oleh anak Adam yang pertama (Qabil) karena dialah yang pertama memberi contoh pembunuhan,” (HR. Bukhari dan Muslim).

Pada dasarnya hubungan Qabil dan Habil amat rukun, ia juga mendapat didikan dari orangtua yang sama. Hanya saja, kecemburuan secara insting manusiawi membuat Qabil menjadi gelap mata. Dalam sepenggal kisah tersebut, kita belajar bahwa masalah yang tak disangkah pun pula dapat mengancam kedamaian.

Membayangkan kehidupan terbebas dari konflik, tentu merupakan sebuah ekspektasi besar dalam kehidupan setiap orang. Memikirkannya saja, sudah membuat kita nyaman. Namun kita tak boleh lupa jika saat ini kita sedang berada di sebuah wadah yang bernama dunia. Tempat hidupnya hampir 8 Milyar populasi manusia berdampingan dangan jutaan spesies mahkluk hidup lainnya. Kita hidup bak rangkai rantai makanan yang saling memakan demi hasrat duniawi. Baik negara, wilayah, kelompok bahkan individual. Kepentingan era kapitalisme membuat manusia menjadi gelap mata, pun pikiran. Semua bisa terjadi, atas kepentingan duniawi. Karena setiap orang, memiliki api di dalam dirinya masing-masing. Tidak dipungkiri, ketidaksempurnaan manusia dan sengitnya persaingan kepentingan, membuat ego dapat mengendalikan semuanya. Tidak peduli di dalam kepala sebuah kelompok besar yang bernama negara atau pun di dalam kepala seseorang sebagai individu. Ego selalu hadir untuk menaklukan setiap kepala. Harus kita akui, konflik tidak hadir dari luar diri kita, terkadang konflik justru muncul dari dalam diri seseorang.

Mengutip sebuah ungkapan Seorang Dalai Lama (biksu) bernama Tenzin Gyatso asal Tibet, yang mengatakan “Kita tidak pernah bisa menciptakan kedamaian di dunia hingga kita mampu menciptakan rasa damai itu dalam diri kita sendiri,” ungkapan tersebut menggambarkan betapa besarnya pengaruh kedamaian di dalam diri setiap individu. Kedamaian yang dapat mengendalikan tuntutan ego, nafsu, dan dengki yang dapat memicu konflik di dalam diri sendiri maupun kelompok.

Jika kita selalu merindukan dan berharap akan kedamaian di bumi ini, maka sejatinya kedamaian itu sudah saatnya lahir di dalam diri sendiri. Hingga kita benar-benar sadar, tidak ada permasalahan yang tidak dapat terselesaikan dengan nurani.

Menutup tulisan ini, dengan mengutip ungkapan Wayne Dyer seorang Penulis dan psikoterapis asal Amerika Serikat 1940 yang mengatakan, “Jika Anda ingin bersuara untuk perdamaian di dunia, mulailah dengan membuat perdamaian sebagai kondisi permanen dalam hidup Anda sendiri,”.

Semoga kita semua termasuk dalam pribadi-pribadi yang mencintai perdamaian.


Selamat Hari Perdamaian Internasional.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *