Tarakan, Kalpress – Isu Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan (SARA) menjadi salah satu indeks ter-tinggi kerawanan, sebagai bahan bakar untuk menyerang pasangan calon lain, setiap pemilihan umum termasuk pemilukada pada Desember mendatang.
Mengenai hal itu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) harus mengambil sikap tegas guna mencegah perpecahan di masyarakat. Wakil Ketua MUI Kalimantan Utara Ust. Syamsi Sarman, S. Pd menegaskan, jika seluruh organisasi masyarakat (ormas) Islam dilarang menunjukan keberpihakan politik.
“Sesuai dengan Pedoman Anggaran Dasar Rumah Tangga (ADRT), MUI tetap Independent, profesionalisme dan amanah dalam mencerahkan umat dalam berkehidupan sesuai tuntunan agama. Untuk itu, ormas tetap terfokus dalam aktivitas keagamaan tanpa embel-embel politik yang dapat merusak persaudaraan atau berpotensi memecahkan umat,” Jelas Syamsi Rabu (16/9/2020) kepada Kalpress.com.
Ia menegaskan, sejauh ini MUI Kaltara cukup tegas dalam menerapkan larangan kepada jajarannya. Menurutnya, jika nantinya terdapat anggota yang tetap ingin berpolitik, maka oknum dipersilahkan mengundurkan diri dari kepengurusan MUI.
“Ini sifatnya komitmen. Jadi bagi pengurus MUI, yang memang ingin berkiprah di dunia politik, apakah jadi timses atau atau pun langsung mencalonkan, dia harus mundur dari kepengurusan MUI,” tukasnya.
Terkait masalah khatib masyarakat yang dianggap berpotensi menjadi sarana kampanye, ia menyadari hal tersebut. Walau demikian, ia menegaskan jika MUI hanya memiliki wewenang dalam mengimbau organisasi tidak bersifat secara individual.
Sementara itu, Kepala Kantor Kementrian Agama (Kemenag) Kota Tarakan, H.M Shaberah S.Ag., MM. menjelaskan, pihaknya telah mengimbau setiap khatib agar tidak berbicara politik di mimbar masjid. Meski demikian, jika materi ceramah membahas pemimpin ideal dalam pandangan Islam hal tersebut sah-sah saja namun hal tersebut tetap pada sesuai tuntunan agama. (KT/RMA)