Membandingkan Pemuda Zaman Dulu Dan Sekarang. Objektif kah?

Kalpress – Setiap generasi meyakini pemuda merupakan agent of change atau agen perubahan dari peradaban. Hal tersebut sangat tepat mengingat pemuda merupakan penyambung kehidupan sebagai tongkat estafet regenerasi. Perkembangan peradaban sosial dan pergeseran mode kehidupan tidak terlepas dari peran pemuda sebagai eksekutor dalam merevolusi kultur sosial masa lalu.

Namun, mungkinkah semua perubahan berujung pada perbaikan, atau justru melahirkan degradasi moral pada sikap pemuda. Pemuda masa kini bisa saja bersikap pasif karena perkembangan tehknologi, ataupun semakin hedonis akibat pesatnya perkembangan sistem kapitalis. Namun, apakah elok jika hal tersebut membuat pemuda saat ini dapat dikatakan lebih buruk dari generasi sebelumnya.

Bacaan Lainnya

Menukil ungkapan Ridwan Kamil pada peringatan Hari Sumpah di Kota Bandung 4 tahun lalu. “Negeri ini butuh banyak pemuda pencari solusi, bukan pemuda pemaki-maki,” ucapnya dalam sebuah pidato yang dimaksudkan membangun motivasi pemuda dalam menghadapi bonus demografi.

Namun yang jadi pertanyaan, apakah ungkapan tersebut merupakan refleksi dari pengamatan sikap sebagian besar pemuda millenial, dan apakah maksud lain ungkapan itu sebagai bentuk kekecewaan dari ekspektasi kaum tua atas perbandingan pemuda masa lalu dan saat ini.

Rasa-rasanya, membandingkan pemuda berbeda generasi, sama halnya menyamakan air di kolam yang berbeda. Tentu kita sering mendengar ungkapan kaum tua yang merasa masa mudanya lebih unggul dari perilaku pemuda saat ini. “Zaman bapak dulu, anak muda tidak begini”, “Zaman ibu dulu, anak perempuan tidak boleh bergaul dengan laki-laki” “anak muda sekarang, bisanya hanya main game saja, tidak bisa membantu ke sawah”, “Anak muda dulu, tidak sering keluyuran malam, beda dengan anak sekarang”.

Adalah hal yang wajar ketika perbandingan tersebut dimaksudkan dalam membangun nilai moral pemuda. Namun, apakah kondisi kaum millenial benar lebih buruk jika berkaca pada standar perilaku ideal masa lalu. Sungguh naif rasanya menjustifikasi hal itu. Semua tahu, perkembangan zaman membuat berbagai hal mengalami revolusi. Mulai dari kurikulum pendidikan, seni, budaya, komunikasi, dan bahkan (mungkin) “cara beragama” sekali pun. Itu semua terjadi akibat adanya perkembangan berpikir mengikuti kondisi yang ada. Perkembangan zaman pun menimbulkan revolusi dalam perumusan dan penindakan masalah. Jika dulu tuntunan bertahan hidup didasari atas percobaan dan pengalaman, generasi berikutnya hanya mencoba mengulang dan mengembangkan dengan teori yang diajarkan. Di masa lampau, pemuda zaman old dihadapkan pada keterbatasan-keterbatasan tehknologi, informasi dan edukasi.

Belum lagi nilai budaya yang masih kental, membuat generasi masa lalu sulit menerima hal-hal baru. Kemajuan tehknologi, informasi membuat hal baru tidaklah selalu tabu. Pun adanya perluasan interaksi, melahirkan peningkatan toleransi dari berbagai sisi. Alhasil, kondisi tersebut menimbulkan pergeseran atau pun pertukaran pada kultur sosial.

Sejak dulu, kita (mungkin) meyakini seseorang yang kerap menghabiskan waktunya beraktivitas di dalam rumah merupakan seorang pengangguran. Seorang anak yang menghabiskan sepanjang waktunya untuk bermain game, dicap sebagai anak yang pemalas. Atau seorang wanita yang keluyuran di atas jam 10 malam, kerap dianggap wanita yang tidak baik.

Pertanyaannya, apakah untuk saat ini seseorang yang menghabiskan waktu seharian di rumah dapat dipastikan pengangguran, apakah seseorang yang menghabiskan waktunya dengan bermain game dipastikan pemalas, atau apakah seorang wanita yang kerap pulang malam dipastikan melakukan aktivitas menyimpang.

Namun saat ini, hal tersebut tentu tidak selamanya sama, semisal jenis pekerjaan freelance yang tidak mengharuskan bekerja di luar rumah, atau seorang gamers yang menghabiskan waktunya untuk berlatih agar dapat menghasilkan uang puluhan juta melalui turnamen Esport, atau seorang wanita karir yang kerap menghabiskan waktunya dengan lembur hingga larut malam.

Mungkin kita mengenal beberapa figur milenial yang justru sukses dengan aktivitas yang dianggap tabu dari standar aktivitas masa lampau, katakan Bayu Skak seorang youtuber dan Gamers sukses yang banyak menghabiskan waktunya di kamar, atau Andika Sutoro seorang millenial yang sukses menjadi milyader melalui investasi saham dengan mengandalkan internet di rumahnya. Tentu masih banyak sosok millenial inspiratif yang berhasil mematahkan stigma standar hidup masa lalu kepada generasi saat ini.

Perkembangan zaman membuat hal yang dulu dianggap buruk kini mulai mengalami pergeseran. Sehingga hal itulah yang membuat sebagian kaum tua, masih menganggapnya sebagai hal yang memprihatinkan. Oleh sebab itulah sebagian kaum tua meyakini jika kaum millenial tidak sebaik pemuda zaman dulu.

Sejarah mencatat, perjuangan heroik pemuda masa lalu sungguh mengagumkan. Mengenai sesuatu yang dianggap ketimpangan moralitas di era millenial, rasanya tidaklah elok jika kaum tua masih menerapkan standar hidup masa lalu sebagai perbandingan dari generasi saat ini.

Harus diakui, perbedaan kehidupan sosial pemuda dalam generasi berbeda, kerap disalah artikan sebagai bentuk ketimpangan. Sayangnya, tidak jarang ekspektasi tersebut melupakan sekat adanya perbedaan situasi dan kondisi yang tidak sama.

Membandingkan peran kaum muda era millenial dan zaman dulu juga tidak akan menghentikan kasus korupsi, polusi kendaraan, limbah pabrik, radikalisasi atau bahkan penyebaran konten Hoax hari ini. Setidaknya, pemuda hari ini telah menghidupkan ruang-ruang diskusi, berkontribusi menciptakan jenis profesi baru bahkan menciptakan karya yang tidak sedikit melahirkan prestasi.

Lewat sastra, film, musik, tarian, seni jalanan, dan kreatifitas lainnya, para pemuda telah membentuk satu komunitas besar, Komunitas perubahan. Kaum millenial secara perlahan telah memberikan aroma kebudayaan ke tubuh perubahan.
Suatu saat kita akan menyadari, jika kita tidak akan maju jika terus membandingkan siapa mereka hari ini dan siapa kita di masa lalu. kita hanya bisa maju dengan menanamkan keyakinan dan tuntunan pada pundak pemuda sekarang.

Kaum tua eloknya tidak semena-mena menjustifikasi kondisi pemuda hari ini. karena hingga saat ini kaum elit tua juga tak bisa menahan hasrat dari godaan memperkaya diri. Ini hanyalah persoalan era. Jika saja masa muda mereka terjadi di masa sekarang, mungkin saja mereka turut melakukan hal yang sama. Setidaknya kaum millenial dan generasi sebelumnya sudah menjalankan perannya sesuai takdir zaman. Dari generasi kemerdekaan hingga saat ini, sejatinya peran pemuda telah berhasil menciptakan bibit perubahan dari kreativitas di eranya masing-masing.

Selamat Hari Sumpah Pemuda.

Tarakan, 28 Oktober 2020

Agus Dian Zakaria, SE (Penggiat Literasi sekaligus Jurnalis Kaltara)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *