Tarakan, Kalpress – Adanya salah satu kasus yang diduga masuk dalam kategori ujaran Kebencian yang dilakukan salah satu pejabat Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) kepada Gubernur Kaltara. Menuai perhatian besar masyarakat. Namun, apalah proses hukum yang sudah berjalan sudah dinilai telat.
Saat dikonfirmasi, Akademisi Hukum Yasser Arafat S.H, M.H mengungkapkan, sejauh ini Indonesia merupakan negara yang cukup demokratis. Menurutnya pemerintah telah menyediahkan bermacam wadah pengaduan kepada masyarakat yang dapat digunakan dalam menyampaikan keluhan. Meski demikian, ia mengakui sebagian besar masyarakat lebih tertarik menyampaikan keresahannya di media sosial. Sehingga, hal tersebut menimbulkan persoalan baru mengenai rawannya jeratan hukum dalam aktivitas media sosial.
“Jadi, di Indonesia saat ini kan saluran-saluran demokrasi sudah terbuka lebar yah. Misalnya melakukan pelaporan pada kecacatan pelayanan publik. Itu ada Ombudsman. Kalau kita melihat ada dugaan pelanggaran Pilkada misalnya itu ada Bawaslu. Atau misalnya ada dugaan korupsi atau penggunaan tidak tepat sasaran itu ada KPK dan BPK sebetulnya ada saluran yang kita manfaatkan,”ujarnya, Sabtu (12/09/2020).
“Tapi kan orang melihat adanya saluran lain seperti media sosial. Itu menjadi sesuatu yang menarik bagi mereka untuk memberikan khalayak. Ini yang sebetulnya jadi persoalan iya kalau memang benar kalau tidak. Karena informasi yang kita sampaikan kemungkinan salah. Kalau kemudian itu salah itu bisa menjadi tindak pidana,” sambungnya.
Ia menuturkan, dalam menggunakan media sosial, sebaiknya masyakarat harus lebih bijak dan tidak menjadikan media sosial sebagai wadah aduan. Menurutnya, meskipun tuduhan tersebut benar adanya, namun jika tidak disertai bukti valid, maka hal tersebut akan mengakibatkan terjadinya pelanggaran hukum.
“Apalagi sekarang ada UU ITE, banyak orang kemidian terkena pasal 27 ayat 3 di undang-undang ITE itu. Selama tidak bisa menghadirkan bukti, dan niatnya hanya untuk memberikan informasi yang kemudian tidak ada datanya. Berarti ini kan kita punya niat jahat,” tuturnya.
“Kalau memang tujuannya mengkritik kan memang sudah ada salurannya. Kalau untuk mengontrol pemerintahan dalam hal kasus IS, kan sudah ada salurannya. Kalau memang menemukan adanya korupsi, atau penyalahgunaan kewenangan yang dilakukan Gubernur misalnya, silahkan manfaatkan saluran yang tersedia,” lanjutnya.
Ia menjelaskan, dalam kritikan yang terjadi dalam kasus yang heboh saat ini, menurutnya termasuk salah satu kategori ujaran kebencian. Mengingat, pasan yang disampaikan hanyalah sebatas opini tanpa disertai bukti konkret. Sehingga menurutnya hal tersebut dapat merugikan pihak yang disangkahkan.
“Yang dimaksud pada pencemaran nama baik itu dibatasi pada hinaan dan fitnah. Kalau kemudian ada pejabat yang dikritik terus dia merasa nama baiknya tercemar itu tidak bisa. Tetapi kalau ada orang yang kemudian menyampaikan informasi dan menuduhkan sesuatu kepada pejabat namun tidak ada data yang dihadirkan baru itu bisa dianggap sebagai fitnah,” terangnya.
Menurutnya, dalam hal ini sebaiknya pihak kepolisian dapat mengutamakan cara yang lebih humanis dalam menyelasaikan perkara tersebut. Seperti mempertemukan kedua bela pihak untuk melakukan klarifikasi.
“Yang perlu saya garis bawahi terkait kasus IS ini, menurut saya tidak tahu apakah polisi sudah menempuh jalur ini atau belum. Tetapi, berdasarkan surat edaran Kapolri, mengenai penangganan ujaran kebencian disitu dikatakan bahwa, seharusnya polisi menempuh upaya preventif dulu. Sebaiknya polisi bisa mempertemukan kedua bela pihak. Dalam hal ini, IS dan korban. Dipertemukan dan dicarikan upaya untuk perdamaian,” tuturnya.
Namun jika pertemuan tersebut tidak menimbulkan titik tengah, maka kepolisian dapat mengambil langkah selanjutnya untuk membawa perkara tersebut berproses secara hukum.
“Itu kan sebenarnya penerapan resporatif justice namanya. Artinya memulihkan kerugian korban dan memulihkan hubungan antara pelaku dan korban. Jadi ada upaya penyelesaian secara humanis dulu”, tutup Koordinator Dosen Pancasila UBT ini. (KT/RMA)