Penulis Opini : Fadhil Qobus
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Borneo Tarakan
MEMBICARAKAN Hasil Pemilu 2024 akan diawali dengan sebuah pertanyaan, apakah kemenangan Prabowo-Gibran adalah benar kehendak rakyat atau paling tidak setengah lebih dari pemilih di TPS?
Kemenangan Prabowo-Gibran dalam kontestasi Pemilu 2024 baru saja diumumkan oleh KPU pada 20 Maret lalu. Pasangan capres-cawapres kesayangan Pak Pres Jokowi menang satu putaran dengan perolehan suara sebanyak 96.214.691 atau 58,58%.
Kemenangan yang menyisakan pertanyaan dan biasanya dijawab dengan dua buah hipotesis:
Pertama bahwa pemilih mereka adalah orang-orang dengan tingkat Pendidikan rendah; dan yang kedua bahwa pemilih mereka adalah kelas menengah ke bawah. Kenyataannya dua hipotesis ini terbukti salah. Dalam Survei Litbang Kompas terlihat jelas suara pemilih Prabowo-Gibran merupakan orang dengan Pendidikan tinggi sebesar 41,7% sedangkan paslon 1 sebesar 34,7% dan paslon 3 sebesar 12,6% lalu suara pemilih dengan status sosial ekonomi dimana paslon 1 memiliki rata-rata 45,6% Kalangan atas serta 50,9% kalangan menengah atas. Data ini diambil dari hasil hitung cepat/quick count sebagai “fakta kemenangan” dan kita semua harus menerima dengan ikhlas.
Salah seorang dosen saya sering mengatakan Vox Populi Vox Dei, suara rakyat adalah suara tuhan, tetapi apakah suara rakyat selalu merupakan kebenaran? Atau katakanlah, apakah rakyat datang ke TPS mencoblos pilihannya disurat suara dan memasukan kedalam kotak suara secara sadar dan benar? Kita boleh membandingkan ini dengan apa yang terjadi negara lain seperti Jerman, sebuah negara beradab yang dalam perjalanan pada paruh pertama abad 20 memenangkan si Adolf Hitler, seorang fasis, pembantai jutaan yahudi dan lahir melalui proses demokrasi. Atau misal kemenangan si Donald Trump yang agak laen dalam pemilihan umum Amerika Serikat, yang katanya masyarakat disana lebih maju dan rasional.
Richar Dawkins, salah seorang dari empat intelektual terkemuka atau biasa dijuluki Four Horsemen dalam Buku 21 Pelajaran untuk Abad ke-21, punya pandangan menarik terkait persoalan ini. Ia pernah mengkritik pemerintah inggris ketika meminta pemungutan suara pada rakyat untuk kebijakan Brexit. Brexit itu adalah kebijakan mengenai migran dimana pekerja di wilayah Uni Eropa bebas keluar masuk tanpa dibatasi wilayah negara.
Dia keberatan soal itu sebab menurutnya, rakyat, termasuk dirinya sendiri, tidak layak dimintai sumbangan suara terhadap kebijakan referendum tersebut. “Kenapa gak sekalian aja kamu adakan pemungutan suara dilingkup nasional untuk putuskan bahwa bener gak Einsten soal aljabar, atau biarkan penumpang memilih sendiri mau dilandasan mana pilot mendaratkan pesawat?” terangnya. Sebenarnya si Dawkins mau bilang bahwa dalam pemungutan suara, rakyat itu rentan sekali keliru menentukan mana yang seharusnya mereka pilih. Sebab memilih pada dasarnya membutuhkan kecakapan politik dan kemampuan lain. Masalahnya adalah tidak semua individu dalam masyarakat kita punya kesempatan yang sama dalam mempelajari hal tersebut.
Sehingga, jika kita mau konsisten tentang demokrasi termasuk pelakunya agar menjalankan secara rasional, kata Harari “sama sekali tidak ada alasan memberi hak suara yang sama kepada semua orang” atau sebagian dari keseluruhan yang bisa mengikuti pemilihan umum. Karena hanya ada segelintir orang dalam masyarakat kita yang punya kecakapan politik dan kecakapan-kecakapan lain yang diperlukan sehingga bisa dikatakan memilih secara rasional. Bahkan menurutnya tidak ada alasan untuk memberikan hak suara pada siapa pun.
Lebih jelas bahwa sesungguhnya basis sebenarnya dari demokrasi bukan rasionalitas, melainkan perasaan. Hanya perasaan yang mampu mempresentasikan kehendak bebas dalam diri manusia. Sebagaian orang boleh jadi lebih rasional daripada sebagian lain, namun setiap dari mereka pasti punya perasaan, dan dengan demikian juga memiliki kehendak bebas. Ketika pemilih datang ke TPS, ia akan mencoblos berdasarkan kata hatinya, kebebasan yang ada pada dirinya. Namun, seperti yang sudah kita bahas sebelumnya, sungguh kebebasan itu rentan sekali untuk menjerumuskan kita menuju jurang kekeliruan. Maka pemilihan umum yang rasional saya katakan nyaris TIDAK ADA.
Alih-alih rasional, dengan meminjam analisis Harari, kita akan sampai pada sebuah kesadaran bahwa rakyat cenderung memilih atas dorongan emosional soal siapa yang akan mereka pilih dan dudukkan pada kursi kekuasaan tertinggi sekaligus penentu nasib hidup 5 tahun kedepan. Untuk memilih secara rasional, butuh kecakapan yang bisa didapat salahsatunya dengan Pendidikan tinggi. Akan tetapi, lagi dan lagi kecakapan pun tidak meniscayakan kita terhindar dari jurang kekeliruan. Buktinya, pemilih pasangan “petahana” atau sering disebut gemoy didominasi oleh kalangan Pendidikan tinggi bahkan unggul jauh dibandingkan pasangan amin atau satset. Apakah ini mengartikan bahwa kemenangan mereka adalah pilihan Nurani rakyat, dan sebagai buah dari pilihan yang benar?