Penulis : Utari Nur Shabrina
Mahasiswi Fakultas Teknik UBT
Kalpress – Acap kali menjadi kelompok kelas dua dalam tatanan masyarakat, tak jarang membuat diri sendiri menstigma bahwa “saya lemah, saya tidak mampu”. Iya, itu adalah perempuan. Dapat kita asumsikan bahwa sugesti buruk terhadap diri sendiri jelas sangat tidak baik untuk keberlangsungan hidup. Padahal kita semua, terbatas dari pandangan soal gender, kita sama-sama memiliki hak memilih. Kita semua dapat mengambil peran,apapun pilihan mu, menjadi anak, menjadi menantu, menjadi istri,menjadi ibu, menjadi saudara, menjadi ipar, menjadi tetangga, atau menjadi warga negara. Kita juga sering kali dihadapkan pilihan, mau menjadi perempuan yang penuh kasih sayang atau perempuan yang mengambil peran dengan melihat banyak peluang.
Ada banyak sekali kendala yang dialami para perempuan ketika ingin mendapatkan sesuatu, karena ketika perempuan memilih sudah dianggap menantang. Sering sekali dijadikan objek,dipaksa “harus” menerima candaan seksis. Harapan terbesar saya adalah perempuan dengan perempuan lainnya mampu menciptakan ruang aman setidaknya untuk para perempuan itu sendiri. Melihat catatan Komnas Perempuan bahwa kasus kekerasan terhadap perempuan tercatat pada tahun 2019 sebanyak 432.471 kasus, yang dimana kasus tersebut telah meningkat 6 persendari tahun sebelumya, yakni 406.178 kasus. Tidakkah perempuan dapat berkaca pada angka-angaka ini bahwa tidak ada ruang aman untuk perempuan?
Tidak hanya ancaman berbahaya dari orang asing yang setiap hari kita temui, terkadang lingkungan terdekat bahkan diri sendiri juga jadi tantangan terbesar dalam jenjang karir seorang perempuan. Lagi-lagi, sebagai perempuan, sekedar memilih suatu pilihan dianggap menantang. Seringkali disinggahi perasaan bersalah padahal tujuan kita mulia, sering juga mengutuki diri sendiri, padahal kamu, saya, dan kita semua berharga dan punya peluang yang sama. Asumsi demikian juga dibuktikan dengan penelitian yang mengatakan bahwa sukses korelasinya dengan laki-laki, namun memberi konsekuensi negatif bagi perempuan.
Perempuan yang memperjuangkan posisi, berani unjuk diri, dan ketika berhasil pun banyak sekali konsekuensi yang akan perempuan sendiri terima. Terkurung pemikiran kuno tentang perempuan yang hanya mengandalkan emosi sering kali dianggap alasan mengapa perempuan tidak dipercayai sebagai seorang pemimpin. Tidak ada data valid tentang kegagalan perempuan berada diposisi dikarenakan kegagalannya mengelola emosi. Banyak sekali tekanan kepada perempuan yang mengambil peran yang terkadang mendorong sikap skeptis mayoritas perempuan untuk naik ke posisi-posisi tertentu. Lagi-lagi saya ucapkan, terlepas dari gender apapun, kita memiliki peluang yang sama.
Perempuan yang memiliki relasi acap kali dianggap pesaing. Perempuan yang berbicara lantang acap kali di cap feminazi. Perempuan yang memperjuangkan hak acap kali di cap “kaum liberalis”. Perempuan yang mengemban posisi acap kali di beri stigma “baperan dan melanklonis”. Perempuan yang memilih mandiri sering kali di cap “egois dan tak tahu diri”. Dan banyak lagi pandangan-pandangan yang menstigma kita merundungi diri sendiri. Celakanya lagi, terkadang sesama perempuan yang memberi pandangan seperti itu. Ada fenomena yang kita kenal dengan “Queen Bee Syndrom”, yang dimana kita dapat melihat dari hasil penelitian yang dilakukan oleh workplace Bullying Institut (206), 58% perundung di suatu organisasi adalah perempuan. Dan hampir 90% memilih perempuan lain sebagai objeknya.
Banyak sekali masalah perempuan,dan sering kali perempuan lain memilih tutup mata akan hal ini. Padahal apa bila kita bergandengan tangan, kita sudah menciptakan ruang aman sesama perempuan, mari merangkul satu sama lain tanpa saling menjatuhkan. Laki-laki di promosikan karena potensinya, perempuan hanya berdasarkan performa yang suda dibuktikannya. Saya yakin, masalah keperempuanan yang dapat menyelesaikannya juga kita perempua. Yang berdaya memeluk sesama perempuan dengan membentuk lingkar aman untuk perempuan.