Kalpress – Suara-suara berisik mesin pabrik terus berbunyi, dan sesekali pekerja memasukan tambahan minyak daun minyak kayu putih di tengah sibuknya mesin bekerja. Setidaknya malam ini pekerja harus menghasilkan minimal 4 sampai 6 liter minyak kayu putih dalam sekali produksi. Hasil tersebut, tentu jauh dari kata ideal, namun dengan adanya produksi ini setidaknya sudah menyelamatkan puluhan hektar hutan Kota Tarakan.
Pembalakan hutan merupakan hal rawan terjadi di setiap daerah khususnya Kalimantan. Sehingga fenomena tersebut merupakan momok menakutkan bagi pemerintah dan masyarakat di setiap wilayah. Mengingat, dampak dari pembalakan dapat berujung pada terjadinya bencana seperti longsor atau pun kerusakan pada ekosistem hutan.
Banyaknya kasus pembalakan liar di Kota Tarakan beberapa tahun lalu, membuat Unit Pelaksana Tehknis Daerah (UPTD) Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) harus melihat masalah tersebut secara serius. Sehingga sejak tahun 2014, UPTD KPH melakukan kerjasama dengan Pertamina dalam menanggani hal tersebut.
Pendamping Penyuluh Bakti Rimbawan Unit Pelaksana Tehknis Daerah (UPTD) Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH), Ahmad Afif menerangkan banyaknya fenomena pembalakan di Kota Tarakan sehingga pihaknya harus mencari cara agar pembalakan tidak kembali dilakukan. Sehingga pada tahun 2014, UPTD merumuskan untuk membuat pengolahan minyak kayu putih yang melibatkan masyarakat sebagai petaninya. Sehingga, dengan begitu diharapkan masyarakat tidak melakukan pembalakan kembali dan lebih terfokus dalam merawat pohon Kayu putih miliknya.
Alhasil, pada tahun 2015, pabrik minyak kayu putih pertama di Kota Tarakan diresmikan oleh Walikota ketiga Kota Tarakan Ir Sofian Raga.
“Dimulainya sejak tahun 2014 dan itu mulai beroperasi di tahun 2015. Itu diresmikan sendiri bapak Walikota waktu itu yaitu Ir Sofian Raga dan waktu itu mulai diproduksi sampai produknya keluar. Kira-kira membutuhkan waktu 6 sampai 7 bulan setelah diresmikan. Setelah ada produk itu, mulai masuk CSR Pertamina, dan Pertamina membiayai operasional selama satu tahun,”ujarnya, (24/10/2020).
Dalam pembuatan pabrik minyak kayu putih, UPTD berhasil mengandeng Pertamina sebagai mitra menghadirkan mesin dan fasilitas gedung. Hadirnya pabrik minyak kayu putih tersebut membuat UPTD KPH setidaknya dapat menghasilkan 3 liter minyak kayu putih sekali produksi. Jumlah tersebut terbilang sangatlah kecil mengingat mesin yang digunakan tidaklah secanggih mesin produksi pada umumnya.
“Untuk CSR pertamina berupa bangunan, adapun mesinnya itu hiba dari Kementrian Lingkungan Hidup yang berkapasitas 250 kilogram (kg). Untuk produksinya, bisa mengola 300 kilo dan menghasilkan 1 setengah liter minyak tapi kadang-kadang, kalau tanamannya dirawat 300 kilo daun itu bisa menghasilkan 3 liter minyak kayu putih,”terang Ahmad.
Belum lagi, pengelolah harus pandai-pandai dalam memutar bugdet agar hasil panen daun minyak kayu putih masyarakat, dapat dihargai lebih mahal. Menurut Ahmad, dengan cara itulah produksi dapat terus berjalan.
“Kalau ditanam sampai dipanen itu membutuhkan waktu sekitar 2 tahun. Awalnya kami mau beli seperti harga di jogja, di sana itu 1 kilo daun harganya Rp 50 sampai Rp 100 rupiah. Jadi untuk bisa membeli minyak kayu putih masyarakat dengan harga seribu kami memperkecil keuntungan kami. Karena sekali produksi kami menghabiskan Rp 800 ribu rupiah sedangkan kami menjual minyak kayu putih perkilonya Rp 600 ribu. Kalau sekali suling bisa menghasilkan 3 liter maka ada keuntungan Rp 400 ribu,”terangnya.
Beruntung, Pohon Kayu putih merupakan jenis Flora yang kuat dalam bertahan. Sehingga, hal tersebut tidak membuat masyarakat kesulitan dalam merawatnya.
“Perawatan pohon kayu putih ini cukup mudah dan tidak memiliki trik khusus. Tehknis memanennya itu ditebang tangkainya. Nanti tangkai baru akan tumbuh lagi. Jadi setelah tangkainya ditebang kemudian dipisahkan dengan daunnya,”ungkap Ahmad.
Ia menceritakan, setidaknya dalam menghasilkan minyak kayu putih petugas UPTD harus menyuling selama 7 jam untuk menghasilkan 3 liter minyak kayu putih. Tentu hal tersebut tidak sebanding dengan pengerjaan. Namun setidaknya, upaya tersebut dilakukan agar hutan Kota Tarakan terus terjaga.
“Proses penyulingannya itu kami menggunakan sistem penyulingan langsung ada penyulingan uap. Kalau penyulingan uap itu airnya beda, daunnya beda. Penyulingannya ini dilakukan sekitar 6 jam. Setelah daunnya dikeluarkan itu ditutup kembali kemudian dilakukan suling kosong untuk membersihkan sisa-sisa daunnya sekitar 1 jam,”terangnya.
Meski memiliki jumlah produksi yang minim, namun produk minyak kayu putih tersebut memiliki ciri khas yang beda dari minyak kayu putih biasa. Sehingga hal itu membuat, para wisatawan ya g berkunjung ke Kota Tarakan, kerap menjadikan minyak kayu putih produksi olahan lokal tersebut sebagai ole-ole.
“Untuk keunggulannya mungkin kami belum memahami secara pasti. Tapi minyak kayu putih yang kami hasilkan adalah kandungan minyak kayu putih yang kami produksi memiliki kandungan cineol cukup besar dari hasil penelitian laboratorium Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman kandungan Cineol Tarakan mencapai sekitar 70 sampai 90 persen. persen. Semakin besar cineol maka aroma khas minyak kayu putih semakin kuat,”tuturnya.
Untuk penjualannya, minyak kayu putih produksi lokal tersebut baru merambah pasar UKM. Meski demikian, minyak kayu putih tersebut, saat ini menjadi incaran wisatawan luar negeri.
“Produk yang dihasilkan sudah siap jual, untuk sementara baru kami jajakan di Pasar UMKM dan menjadi ole-ole ciri Khas Kota Tarakan. Beberapa kali dijual ke luar Tarakan. Bahkan sempat ada beberapa tamu dari luar negeri yang membelinya seperti Malaysi, Brunei, dan Filipina,”terangnya.
“Walaupun harganya lebih mahal dari brand minyak kayu putih pada umumnya. Namun dengan aroma khas dan merupakan hasil olahan lokal sehingga minyak kayu putih kami menjadi belanjaan cendramata orang-orang yang datang dari luar,”sambungnya. (KT)