Penataan Keindahan Pantai Amal, Mata Pencaharian Warga, dan Ketidakadilan Ruang
Tarakan, Kalpress — Garukan backhoe (kendaraan alat berat) penggali tanah terus berkerja untuk melakukan penataan lahan wisata Pantai Amal. Saharuddin salah satu warga RT 4 Pantai Amal, dan sekian banyak warga setempat hanya bisa menatap pasrah, saat melihat pondasi-pondasi tembok yang menjadi penghalang mereka menuju pantai, sebentar lagi akan berdiri kokoh.
Memang, Pembangunan objek wisata Pantai Amal merupakan terobosan pemerintah Kota (Pemkot) Tarakan yang sejak dulu sangat dinantikan masyarakat. Meski pembangunan wisata Pantai Amal baru dapat dilaksanakan saat ini, namun pembangunan yang diakui masyarakat setempat tidak sesuai dengan gambaran serta ekspektasi yang diharapkan tidak merugikan siapa pun.
Meski sebelumnya, pemerintah melalui DPRD telah berjanji akan membangun pintu untuk akses masyarakat, namun hal tersebut tidak membuat masyarakat legah. Ia dan warga lainnya khawatir jika pintu yang dibangun hanya berjumlah satu dan masyarakat tidak bebas melintas kapan saja, jika pintu terdapat kunci yang membatasi ruang gerak masyarakat menuju laut.
“Kesulitan kami dengan pembangunan ini sudah terasa, kita mau lewat dihalangi proyek, apalagi pemerintah pernah berjanji kepada kita kan mereka mau selesaikan di dalam dulu baru di sini. Ternyata itu tidak seperti yang dikatakan. Baru sepotong selesai sudah ke sini,” ujar Saharuddin, (06/10/2021).
“Waktu kami demo, komitmennya pembangunan pagar ini tidak dilanjutkan sampai ada persetujuan masyarakat. Tapi ternyata pengerjaannya ini terus dilanjut tanpa ada persetujuan dari kami,” sambungnya.
Pemandangan indah yang dilihatnya setiap pagi, memang sudah kepalang terancam hilang. Namun, ia dan warga lainnya masih memiliki secerca harapan agar dimudahkan dalam mencari nafkah dikemudian hari.
“Saya belum tahu apakah sudah rapat dengar pendapat di DPRD. Maunya kami itu bisa dipanggil semuanya pertemukan kami dengan Walikota supaya kami bisa menagih janjinya sebelum membangun,” tuturnya.
“Untuk sementara orang masih bisa beraktivitas karena masih terbuka. Tapi kalau nanti sudah dipagar, otomatis akses kita untuk ke laut sudah tertutup. Hampir semua warga di sini mata pencariannya di laut,” jelasnya.
Sekali lagi, dirinya dan masyarakat lain tidak berharap banyak namun ia hanya berharap tidak adanya tembok penghalang yang membatasi ruang gerak masyarakat menuju laut. Karena menurutnya sejak dulu laut sudah menjadi penyambung hidup masyarakat.
“Keinginan kami sebenarnya sangat sederhana, jangan membangun tembok untuk menghalangi kami ke laut. Karena kalau akses kami ditutup bagaimana kami mencari nafkah,” tukasnya.
“Kami menunggu penyelesaian begini bagaimana, apakah kami mau dibuatkan pintu atau bagaimana. Kalau pun dibangun cuma satu, kasihan masyarakat yang jauh dari pintu,” lanjutnya.
Menurutnya, sosialisasi yang dilakukan sejak dulu, tak ubahnya sebagai cerita manis belaka. Namun pada pelaksanaannya membuat masyarakat terperdaya karena gambaran yang tidak sesuai.
“Seandainya dari pertama kami tahu kalau kejadiannya seperti ini, kami jelas tidak setuju dibangunnya tempat wisata ini,” tuturnya.
Tidak sampai di situ, saat kekhawatiran kesulitan menuju laut terus menghantui, tidak sedikit, lahan yang menjadi milik warga dikorbankan untuk melancarkan proyek wisata yang dikerjakan. Hal itu pun lengkap karena tidak adanya komitmen ganti rugi atas lahan masyarakat yang diambil.
“Sedangkan pengerjaan ini ada tanah yang kena tapi tidak dikasi diganti rugi. Kalau kita hitung-hitung kerugiannya cukup besar. Pengerjaan di dalam saja kena 4 meter, di depan 2 meter lebih,” terangnya.
“Dan ini bukan saya sendiri, warga lain juga banyak yang tanahnya diambil dari proyek ini. Terus paretnya dibangun kecil betul, saya bilang pak kalau sampai di tanah saya, stop dulu kalau begini paritnya karena nanti sudah jadi juga tidak bisa mengalirkan semua pembuangan air,” sambungnya.
Meski mencoba untuk ikhlas, tapi hal itu kembali menghasilkan kekecewaan baru masyarakat karena drainase yang dibuat dari lahan masyarakat dinilai sangat kecil dan dianggap tidak mampu mengalirkan air secara maksimal saat hujan.
“Kita sudah ikhlaskan ini tanah untuk paret, tapi kecil paretnya kita dibikinkan bagaimana. Kalau maunya itu paret yang dibuat agak-agak lebar sedikit lah. Kan jadi pembuangannya lancar,” imbuhnya.
Sementara itu, La Lumanta Ketua RT 4 Kelurahan Pantai Amal tidak bisa berbuat banyak menanggapi kondisi tersebut. Sebagai Ketua RT, ia juga telah berupaya penuh agar masyarakat merealisasikan ekspektasinya. Namun, sebagai ketua RT ia tidak memiliki cukup kekuatan untuk mencegah hal tersebut.
“Sebenarnya kita tidak ada masalah dengan pembangunan itu, tapi belakangan malah jadi masalah. Ada tanah yang terambil, Parit terlalu kecil dan dibangunnya tembok yang menghalangi kami ke laut,” tuturnya.
“Belum lagi kedalaman parit itu tidak sesuai ada 15 cm ada 20 cm. Maunya kami itu lebar jalannya 11 meter, paritnya kanan-kiri. Tapi kalau satu saja agak besar lah. Kalau 20 cm aja itu buat apa, itu juga nanti air meluap,” terangnya.
Diakuinya meski pembangunan terus berjalan, namun setidaknya hal tersebut tidak merampas hak masyarakat. Mengingat, pembangunan sejak awal didukung oleh masyarakat setempat.
“Sebenarnya kalau mau hitung-hitungan di surat, seluruh warga tanahnya terambil karena proyek itu. Tapi sebagian sudah mengikhlaskan, tapi sebagian lagi yang tanahnya cukup banyak terambil, jadi dia mengharap ganti rugi,” pungkasnya. (*)
Penulis: Ahmadnrmansyah
Editor: Redaksi Kalpress.id