Oleh : Agus Dian Zakaria
(Jurnalis dan Pegiat Literasi)
Pemilu Capres-Cawapres 2019 lalu mungkin menjadi peristiwa yang sulit dilupakan masyarakat Indonesia. Maraknya penyebaran ujaran kebencian, hoaks, fitnah dan pembunuhan karakter menghiasi masa kampanye kala itu. Tidak hanya buzzer, media tertentu juga turut menyajikan berita keberpihakan pada masing-masing pasangan calon (Paslon) bahkan hingga pada tahap perhitungan cepat hasil perolehan suara. Tentu saja, hal itu mengundang perhatian besar masyarakat sekaligus menimbulkan pertanyaan terhadap kredibilitas informasi yang disajikan pada beberapa media mainstream tersebut. Mengapa demikian, apa yang sebenarnya terjadi, bagaimana ini bisa terjadi, dan pertanyaan yang paling penting apakah media saat ini masih mengedepankan independensi atau hanya menjalankan kepentingan komersialisasi.
Sebagai pilar ke empat demokrasi, pers memegang peranan penting pada perjalanan panjang bangsa Indonesia hingga hari ini. Pers tumbuh di dalam lapisan sendi-sendi sosial yang berperan vital dalam merekam dan mengabarkan setiap dinamika peristiwa. Pers tidak hanya menjadi sumber informasi khalayak, namun pers juga menjadi alat perjuangan di masa lampau dalam menyiarkan propaganda perlawanan tokoh bangsa melawan penjajah. Peran pers juga amat penting lantaran menjadi acuan dalam menentukan tempat dan waktu kemerdekaan usai tersiarnya kekalahan Jepang oleh pasukan sekutu. Dari pers pula, masyarakat Indonesia di berbagai penjuru Nusantara mengetahui, bahwa proklamasi kemerdekaan telah dikumandangkan.
Itu hanya bagian kecil dari catatan kontribusi pers dalam mengawal rentetan sejarah penting perjalanan Bangsa Indonesia. Meski saat ini pers tetap konsisten dalam mengawal jalannya peradaban, namun dalam perjalanannya pers acapkali digunakan dalam kepentingan-kepentingan yang berseberangan dari tujuan pers itu sendiri.
Di masa orde baru (Orba), pers mulai mengalami pasang-surutnya. Pers kala itu harus dihadapkan dengan pemerintahan bergaya Otoritarianisme yang anti terhadap kritik. Masa orba mungkin menjadi masa paceklik bagi pers dimana pers dipaksa menjadi ompong dan terkebiri oleh kondisi yang amat membatasi peran-peran pers itu sendiri. Katakanlah pembredelan media. Masa pemerintahan Orba yang dipimpin oleh seorang jenderal bertangan besi Soeharto melahirkan banyak kebijakan-kebijakan yang anti kritik setidaknya lebih dari 3 dekade. Dalam kurun waktu 1966 hingga 1998 setidaknya tercatat 5 media Wahid yang menjadi mangsa Tirani kala itu. Sebut saja Tempoe, Harian Sinar Harapan, Harian Indonesia Raya, Harian Rakyat dan Harian Abadi. 5 media Wahid tersebut hanya bagian kecil dari puluhan media yang harus berujung pada pembredelan akibat tak sejalan dengan kepentingan politik penguasa.
Pembredelan yang dilakukan atas dalih menciptakan ketertiban dan mencegah kegaduhan di masyarakat itu tidak hanya memotong taring media sebagai kontrol sosial, namun juga berimbas pada nasib jurnalis yang kehilangan pekerjaan dan harus berjibaku untuk sekadar bertahan hidup. Mereka yang kritis harus menanggung pilunya kepahitan hidup yang membunuh jiwa idealis mereka. Matinya kontrol sosial kalah itu menciptakan banyak pencitraan dan pembodohan publik dalam membangun topeng wajah indah pemerintah. Alhasil, saat itu kehadiran pers hanya sebagai perangkat yang menyiarkan prestasi dan capaian positif seakan perjalanan demokrasi baik-baik saja.
Beruntung, lengsernya Presiden Soeharto di tahun 1998 menjadi angin segar bagi pers untuk kembali menumbuhkan taringnya. Bergantinya nahkoda kepemimpinan negara kembali memberi ruang pada pers untuk kembali memegang peranan penting dalam mengawal perjalanan Demokrasi. Keseriusan pemerintah di era reformasi ditunjukan dengan dicabutnya aturan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) yang selama ini menjadi senjata Orba untuk membredel eksistensi media. Masa reformasi menjadi awal kembalinya kendali pers sebagai kontrol sosial.
Meski pers kembali mendapat kebebasannya pasca masa Orba, namun nampaknya makin ke sini pemerintah mulai kembali alergi terhadap eksistensi media. Walau begitu, pemerintah amat menyadari bahwa mengembalikan gaya otoriter sangat tidak relevan dan kalau pun memungkinkan, tentu hal tersebut tidak semudah membalikkan telapak tangan. Sebaliknya, kemajuan teknologi dan informasi yang terus berkembang justru membuat pers semakin tangguh. Pun hingga saat ini elit tak kehabisan cara dalam menjinakkan bahkan mematikan kekritisan pers guna mencapai kepentingan tertentu. Upaya menjinakkan kekritisan pers tersebut tidak lagi dilakukan dengan perlawanan tangan besi, namun sebaliknya upaya tersebut dibangun dengan menjadi bagian dari pers itu sendiri. Di sinilah benang merahnya. Mudahnya kelompok, individu atau lambaga dalam membentuk media massa menjadi Boomerang bagi kelangsungan pers.
Pers yang sebelumnya memperjuangkan keadilan dan hak-hak fundamental, kini agaknya mengalami pergeseran yang justru menjadi momok menakutkan bagi demokrasi kita. Menjamurnya media saat ini menciptakan kompetisi yang tidak sehat antar pers. Industri pers hari ini tak lagi menuhankan kebenaran semata, melainkan juga menuhankan rupiah yang sebelumnya menjadi nomor dua. Pers hari ini kerap digunakan sebagai ladang komersialisasi tanpa mementingkan esensi. Meski dalam sudut pandang kacamata normal pers bukanlah bisnis yang menjanjikan, namun sebagian orang melihat dari perspektif berbeda, pers justru dapat digunakan sebagai jalan peluang dan batu loncatan mencapai kepentingan bersama. Alhasil, Pers yang dulu berfungsi sebagai kontrol sosial, kini menjadi dan senjata maupun tameng pemilik kepentingan.
Hingga hari ini berapa banyak politisi, pengusaha, birokrat, publik figur, atau tokoh elit yang menjadi pemilik media. Bahkan, status kepemilikan tokoh atas media telah dianggap menjadi rahasia umum. Kita sebut saja Surya Paloh ketua Umum Partai Politik (Parpol) Nasional Demokrat yang merupakan pemilik Metro TV, Aburizal Bakrie sebagai pengusaha dan eks politisi Golkar yang juga pemilik TV one, Erick Thohir pengusaha sekaligus menteri BUMN yang juga pemilik PT Republika Media Mandiri atau media Republika, dan Hary Tanoesoedibjo pemilik partai Perindo sekaligus owner MNC Group yakni perusahaan yang menaungi beberapa media besar seperti RCTI. Itu hanya sebagian kecil nama figur yang juga merupakan pemilik media dan masih banyak figur wahid yang tak bisa penulis uraikan satu-persatu.
Tentu tokoh-tokoh besar ini memerlukan media dalam menunjang hegemoninya, kontribusi media memiliki pengaruh sangat besar dalam membangun opini publik, baik untuk citra diri sendiri, partai politik atau kepentingan usahanya. Celakanya, berbagai media besar di Indonesia memiliki bos yang eksis dalam percaturan politik maupun sebagai partner pemerintah. Kondisi ini tidak jarang membuat media berpotensi terjerat arus kepentingan tertentu. Tidak mengherankan pemilu 2019 memperlihatkan kontrasnya sajian berita pada beberapa media tertentu yang mendominankan keberpihakan.
Meski harus diakui, belum ada aturan yang melarang tokoh dalam mengisi background tertentu memiliki media. Sehingga hal ini menciptakan Medan peperangan kepentingan baik di linimasa, Televisi, Radio, surat kabar, media sosial maupun beranda internet. Yang menjadi korban tentu masyarakat yang tak melek akan situasi ini. Alhasil, peperangan informasi menciptakan kelompok-kelompok masyarakat yang mengimani sajian tertentu. Kalau sudah begini, nampaknya masyarakat harus memiliki intelejensi dalam membentengi diri. Tentu setiap orang memiliki pandangan dalam menjustifikasi nilai kebenaran sajian berita. Namun analisis sederhana bisa diterapkan dengan melihat sosok dibalik kepemilikan media untuk menjadi acuan masyarakat berpikir lebih kritis.
Terlepas dari segala kontroversinya, harus diakui media atau pers juga bagian dari korporasi yang merupakan badan usaha yang juga mencari profit untuk menjaga eksistensinya. Namun hal yang membedakan pers dari badan usaha lainnya ialah pers berperan sebagai penyambung lidah dan telinga masyarakat yang berkewajiban menyajikan perkembangan informasi, edukasi/pendidikan, hiburan dan kontrol sosial sesuai kode etik dan kaidah jurnalistik.
Tugas pers sebagai pilar ke-4 demokrasi cukup vital meski dihadapkan 2 kepentingan yang harus sejalan. Kepentingan ini kerap melahirkan dilematis yang akhirnya mengikis idealis. Pun begitu, hari ini peran pers masih sangat dibutuhkan. Kelayakan pers sebagai pilar ke-4 demokrasi masih teruji dengan berbagai ungkapan kejahatan, korupsi, diskriminasi yang didahului oleh sajian pers. Tidak jarang pers turut memberi sumbangsih dalam upaya mematahkan pengalihan isu dan menarik perhatian besar khalayak dalam menuntaskan kasus penting.
Harus diakui, pers hari ini dihadapkan oleh tantangan kemajuan zaman antara mempertahankan kaidahnya namun juga menjaga eksistensinya. Kedua hal tersebut, menjadi satu kesatuan yang cukup mustahil terpisahkan. Walau bagaimanapun, pers harus tetap hidup dalam sendi-sendi lapisan sosial dan terus berdiri menjadi garda peradaban kehidupan. Selamat Hari Pers Nasional. (*)