Seperti Di Neraka: Kondisi Pusat Tahanan Imigrasi Di Sabah, Malaysia
Tarakan, Kalpress – Sepanjang Maret 2021 sampai April 2022, Koalisi Buruh Migran Berdaulat (KBMB) melakukan sembilan kali aktivitas pemantauan mengenai kondisi buruh migran asal Indonesia dan keluarganya yang dideportasi dari 5 pusat tahanan imigrasi di Sabah, Malaysia, ke Nunukan, Kalimantan Utara. Pemantauan tersebut kami lakukan dengan menemui dan melakukan wawancara terhadap hampir 100 deportan di rumah susun yang dikelola oleh UPT BP2MI Nunukan (Unit Pelaksana Teknis Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia) di Nunukan.
Dari seluruh pemantauan yang kami lakukan selama dua tahun terakhir, temuan yang paling mengerikan adalah tingginya akan kematian di dalam pusat tahanan imigrasi yang dialami oleh buruh migran asal Indonesia dan keluarganya. Kasus kematian di dalam pusat tahanan imigrasi terjadi secara terus menerus di kelima Depot Tahanan Imigrasi (DTI) di Sabah. Menurut data yang kami dapatkan dari Kedutaan Besar Malaysia di Jakarta, jumlah warga negara Indonesia yang meninggal di seluruh pusat tahanan imigrasi di Sabah pada tahun 2021 sebanyak 101, dan 2022 (Januari – Juni) sebanyak 48 orang. Itu artinya dalam 1,5 tahun saja, ada 149 warga negara Indonesia yang meninggal di pusat tahanan imigrasi di Sabah, Malaysia. Jumlah ini telah menunjukan betapa tragisnya peristiwa kematian yang terjadi di bawah otoritas Depot Tahanan Imigrasi di Sabah.
Dari berbagai wawancara, kami menyimpulkan bahwa seluruh Depot Tahanan Imigrasi di Sabah:
1. Dengan sengaja menelantarkan tahanan yang sakit dan tidak menyediakan pelayanan kesehatan tepat waktu sehingga bisa mencegah penyakit tahanan berkembang menjadi serius dan
berakibat fatal;
2. Dengan sengaja tidak merujuk tahanan yang sakit ke pusat layanan kesehatan sebelum
penyakitnya berkembang menjadi lebih serius;
3. Dengan sengaja tidak menyediakan tenaga, fasilitas kesehatan dan obat-obatan yang diperlukan
di dalam DTI. Dari wawancara yang kami lakukan, hanya DTI Tawau yang diketahui melakukan pemeriksaan kesehatan bagi tahanan, itupun setelah terjadi keracunan makanan massal pada November 2021, dan hanya terbatas pada pemeriksaan tuberkulosis;
4. Dengan sengaja tidak melakukan upaya-upaya pemenuhan hak atas kesehatan bagi tahanan. Tidak menjalankan tanggung jawabnya untuk melindungi kesehatan para tahanan dan memastikan mereka dapat mengakses setiap layanan dan fasilitas kesehatan;
Mengingat berbagai situasi yang terjadi di seputar kematian, kami meyakini sebagian besar peristiwa kematian di dalam pusat tahanan imigrasi seharusnya bisa dicegah. Tingginya angka kematian yang dialami oleh buruh migran asal Indonesia telah menunjukan secara jelas bahwa seluruh otoritas terkait di Sabah dengan sengaja dan terus menerus tidak memenuhi standar kesehatan yang semestinya. Kondisi ini akan terus membahayakan keselamatan seluruh tahanan imigrasi bahkan menghadapkan mereka pada resiko kematian. Hal ini hanya bisa dicegah jika kondisi buruk di dalam pusat tahanan imigrasi diperbaiki, berbagai pelanggaran standar dan prinsip kesehatan di dalam pusat tahanan dikoreksi dan berbagai perlakuan tidak manusiawi dihentikan.
Penangkapan dan Deportasi Massal
Sepanjang Maret 2021 hingga Juni 2022 telah terjadi 10 kali deportasi dari 5 pusat tahanan imigrasi di Sabah, Malaysia menuju Nunukan, Kalimantan Utara. Pada periode itu, terdapat 2191 buruh migran dan keluarganya yang dideportasi. 1765 (80 persen) diantaranya adalah migran laki-laki dan 426 (30 persen) adalah perempuan. Sebanyak 1996 atau 91% orang merupakan deportan dewasa; dan 195 atau 9% adalah anak-anak berusia 18 tahun, diantaranya sebanyak 57 anak-anak berusia di bawah 5 tahun (balita).
Berbagai cerita memperlihatkan bagaimana penangkapan bisa terjadi dimana dan kapanpun, bahkan ketika migran tersebut sedang menuju perbatasan untuk kembali ke Indonesia, bukan untuk masuk ke Sabah. Sebagian besar peristiwa penangkapan berlangsung kolektif, dan dalam peristiwa tersebut terkadang ada migran yang sebenarnya memiliki dokumen yang masih aktif namun seperti umumnya dokumen tersebut dipegang oleh majikan, atau sedang dalam masa perpanjangan.
Berbagai peristiwa penangkapan menunjukan jika ratusan ribu buruh migran asal Indonesia di Sabah selalu berada dalam kondisi yang rentan karena bisa ditangkap kapanpun. Mereka bisa ditangkap ketika menempuh perjalanan, ditangkap di rumah, sedang berbelanja di pasar atau ketika bekerja.
Sejak awal proses penangkapan, hampir seluruhnya berlangsung dengan prinsip praduga bersalah (presumption of guilt). Mereka semua langsung dibawa ke kantor polisi terdekat, tanpa dijelaskan apa alasan penangkapannya, tanpa ditanya apakah mereka memiliki dokumen resmi atau tidak. Di dokumen penangkapan yang ditandatangani oleh deportan dan petugas polisi, tidak tertulis apa yang menjadi penyebab mereka ditangkap. Bagian sebab-sebab penangkapan dibiarkan kosong padahal sudah ditandatangani.
Kami menyimpulkan tidak ada satupun prinsip peradilan yang adil dan jujur dipatuhi oleh otoritas penegak hukum di Sabah. Proses peradilan berlangsung secara cepat, seringkali tidak lebih dari lima menit. Tidak ada satupun tersangka yang didampingi pengacara. Mereka hanya perlu mengakui kesalahan serta memohon keringanan hukuman pada hakim.
Bagi mereka yang ditangkap pihak imigrasi dengan pelanggaran keimigrasian, dengan kategori laki- laki berusia antara 19 sampai 50 tahun, hakim akan memberikan hukuman cambuk rotan di bokong. Jumlah cambukan berbeda dari satu tahanan ke tahanan lainnya, ada yang satu kali, dua kali, bahkan ada yang enam kali. Beberapa tahanan yang tak kuat menahan sakit jatuh pingsan pada cambukan pertama. Oleh petugas mereka biasanya akan disiram air supaya sadar untuk melanjutkan cambukan kedua. Banyak yang setelah cambukan kedua tidak bisa berdiri dan harus dipapah untuk berjalan.
Kami juga menemukan banyak tahanan yang harus mendekam di penjara lebih lama dari vonis yang diberikan hakim. Mereka juga menjadi kehilangan kepastian mengenai kapan akan ditransfer ke pusat tahanan imigrasi. Praktek penangkapan dan penahanan tanpa batas dan tanpa kepastian kapan akan dibebaskan (indefinite arrest) merupakan hal umum yang kami temui di berbagai penjara di Sabah.
Sejak proses penangkapan, peradilan dan pemenjaraan telah terjadi berbagai pelanggaran atas standar HAM internasional. Proses penangkapan seringkali dilakukan secara kolektif tanpa pemeriksaan secara individual. Proses penangkapan dan peradilan dilakukan secara kolektif dan cepat. Sehingga mengabaikan prinsip pemeriksaan yang dilakukan secara individual dan tidak memberikan kesempatan yang cukup bagi tersangka untuk membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah.
Persoalan lainnya adalah ketiadaan prinsip praduga tak bersalah, ketiadaan proses pemeriksaan yang adil, terbuka untuk umum dan tidak memiha; tidak adanya kesempatan untuk membela diri dan meminta pemeriksaan lebih lanjut; tidak adanya pendampingan hukum oleh pengacara, dan kemudian hanya dipaksa untuk mengaku bersalah dan memohon keringanan hukuman pada majelis hakim.
Kondisi Buruk di Pusat Tahanan Imigrasi Sabah
Setiap kali melakukan pemantauan kondisi deportan di rumah susun yang dikelola oleh BP2MI di Nunukan, kami selalu menemukan berbagai persoalan kesehatan yang dialami deportan. Pada deportasi Maret 2022, satu orang deportan bahkan meninggal di RSUD Nunukan hanya 6 jam setelah sampai di pelabuhan. Tidak jarang kami menemukan deportan yang harus menggunakan kursi roda karena tidak kuat untuk berjalan. Pada tiga deportasi terakhir (Maret, Mei dan Juni 2022) setidaknya ada 14 deportan dengan gejala kelumpuhan dan beri-beri yang dirujuk ke fasilitas kesehatan di Nunukan.
Nyaris seluruh deportan terkecuali yang berasal dari DTI Sandakan menderita penyakit kulit, mulai dari yang ringan sampai parah. Baik bayi, anak-anak, orang dewasa dan lanjut usia menderita penyakit kulit, terutama skabies (kudis). Mulai dari yang infeksinya hanya terjadi pada bagian tubuh tertentu, sampai yang telah menyebar ke sekujur tubuh. Dari mulai terlihat ringan sampai yang bernanah.
Penyakit lain yang umum diderita oleh deportan adalah diare hebat. Banyak deportan ketika sampai di rumah susun harus buang air besar sampai 6 – 10 kali dalam sehari. Selain itu banyak deportan menderita demam, radang tenggorokan, batuk, sakit maag, dan berbagai persoalan saluran pencernaan.
Umum kami temukan deportan yang menunjukan gejala dehidrasi dan kekurangan kadar garam di tubuhnya. Begitupun dengan gejala malnutrisi, terutama pada deportan perempuan khususnya yang sedang menyusui. Nyaris seluruh deportan perempuan juga mengalami gangguan menstruasi sejak berada di DTI.
Hampir seluruh tahanan mengalami gangguan tidur. Deportan dari DTI Papar Kimanis di Blok K mengatakan hanya bisa tidur paling banyak 2 jam dalam satu hari. Penyebab utama sulit tidur adalah rasa gatal yang konstan, kondisi yang berisik, orang yang terus berlalu lalang, bau busuk dan nyamuk yang ganas.
Seluruh deportan bercerita dengan geram soal betapa buruknya kualitas makanan yang disajikan. Bukan saja porsi-nya yang tidak cukup dan seringkali telat diantar, kualitas makanannya pun dinilai buruk: seringkali basi, mentah, berbau, dan hambar. Selain itu, makanan juga disajikan dalam sebuah wadah yang kotor karena tidak dicuci dengan baik. Tidak ada makanan tambahan bagi ibu hamil dan menyusui. Dengan kondisi seperti itu kami meyakini bahwa makanan yang disajikan selain tidak higienis juga memiliki kadar nutrisi di bawah standar.
Pelanggaran Terhadap Prinsip-Prinsip Kesehatan di dalam Tahanan
Kondisi buruk di dalam pusat tahanan imigrasi membuat tahanan dengan cepat berubah menjadi pasien. Namun seluruh pusat tahanan imigrasi di Sabah gagal dalam menyediakan pemeriksaan dan pelayanan kesehatan dasar. Tidak ada satupun pusat tahanan imigrasi yang memiliki klinik dan petugas kesehatan. Kondisi ini diperburuk dengan perilaku petugas yang seringkali meremehkan keluhan sakit dari para tahanan. Mereka akan menunggu kondisi sakit tahanan memburuk baru akan dibawa ke rumah sakit. Jika kondisinya semakin serius, apapun keluhannya petugas hanya memberi obat paracetamol, itu pun seringkali hanya satu atau dua tablet.
Ditambah dengan praktik jual beli obat-obatan dasar dengan harga berkali lipat dibandingkan dengan harga pasaran. Di seluruh pusat tahanan imigrasi, obat-obatan dasar seperti paracetamol, antibiotik, penghilang nyeri (pain killer) dan obat gatal diperjualbelikan oleh petugas melalui beberapa tahanan dengan harga sangat mahal. Satu strip paracetamol berisi 10 tablet, dijual dengan harga 50 RM di DTI Papar Kimanis, padahal di luar harganya hanya berkisar 4 RM
Seluruh manajemen Pusat Tahanan Imigrasi di Sabah telah gagal memahami bahwa siapapun yang berada di dalam pusat tahanan memiliki hak kesehatan yang sama dengan manusia lainnya. Seperti dinyatakan dalam The United Nations (1990) Basic Principles for the Treatment of Prisoners, bahwa “Setiap tahanan harus mendapatkan akses pada setiap layanan kesehatan yang tersedia di negara tersebut tanpa diskriminasi berdasarkan situasi hukum mereka.” (“Prisoners shall have access to the health services available in the country without discrimination on the grounds of their legal situation”).
Manajemen DTI sengaja melanggar prinsip dasar tersebut dengan mengabaikan tanggung jawabnya dalam melindungi kesehatan para tahanan, termasuk memastikan mereka yang memiliki persoalan kesehatan dapat mengakses pelayanan kesehatan tepat waktu dan seharusnya. Pengelola DTI secara terus menerus membiarkan kondisi tahanan memburuk dengan mempersulit mereka mengakses fasilitas dan layanan kesehatan.
Penuh Sesak, Kotor dan Tanpa Sinar Matahari
Kecuali DTI Sandakan, empat DTI lainnya di Sabah mengalami persoalan kelebihan kapasitas. Dengan rata-rata luas 8 x 12 meter, setiap blok dihuni oleh 200 – 260 orang. Setiap DTI diperkirakan memiliki 10 – 14 blok di dalamnya. Seluruh blok tahanan dikabarkan dalam kondisi yang buruk, kotor, bahkan ada yang tidak terkena sinar matahari dan ketika hujan turun air nya masuk ke dalam dan membuat tahanan kebasahan. Beberapa blok juga sangat bau karena kondisi toilet yang penuh dengan kotoran. Kondisi di DTI Sandakan sedikit lebih baik karena air bersih mengalir selama 24 jam dan kondisinya jauh lebih lowong. Beberapa informasi di bawah ini lebih banyak mencerminkan kondisi di luar DTI Sandakan.
Tidak ada alas tidur yang disediakan di seluruh DTI. Setiap tahanan harus tidur di lantai yang kasar, terkadang mereka melapisinya dengan kertas kardus sebagai alas. Tahanan tidur dengan kondisi saling berhimpitan satu sama lain. Saat berbaring, kaki mereka akan menyentuh kepada tahanan lain di bawahnya. Di blok 9 DTI Tawau, saking penuhnya beberapa tahanan terpaksa tidur di toilet.
Setiap DTI hanya memiliki satu toilet bersama dengan rata-rata tiga lubang toilet. Jumlah ini tentu saja jauh dibawah cukup untuk penghuninya yang berjumlah di atas 200 orang. Itupun di banyak blok laki- laki, hanya satu lobang toilet yang tidak mampat. Sisanya mampat dan membuat kotoran manusia bertumpuk. Beberapa tahanan di DTI Papar bercerita seringkali satu lobang toilet digunakan secara bersamaan oleh dua orang. Satu orang menghadap ke depan dan satunya lagi menghadap ke belakang. Kondisi toilet seperti ini membuat banyak tahanan yang harus menahan untuk tidak membuang air besar dalam jangka yang ekstrem. Kami banyak mendengar cerita mereka yang baru buang air besar satu kali dalam dua sampai tiga minggu.
Selama berada berada di DTI, tahanan tidak diperkenankan untuk melakukan aktivitas fisik di luar blok, kecuali ketika menerima kunjungan dari keluarga atau untuk mengikuti proses pendataan oleh Konsulat. Mereka harus berada di dalam blok 24 jam sehari sebelum kemudian dideportasi.
Ketiadaan kebutuhan dasar seperti alas tidur, selimut, baju bersih, perlengkapan mandi, kamar mandi yang bersih dan cukup, dan privasi telah melanggar Pedoman No 8 Pasal 10 yang tertuang dalam Pedoman Penahanan yang dikeluarkan oleh UNHCR. Tidak adanya peluang dan fasilitas untuk melakukan aktivitas olahraga fisik, serta aktivitas rekreasional di luar ruang tahanan dengan udara bersih dan cahaya alami juga telah melanggar Pedoman 8 Pasal 8 dari Pedoman Penahanan No 8.
Situasi Anak dan Perempuan
Sebanyak 9 persen atau 195 migran yang dideportasi pada periode Maret 2021 hingga Juni 2022, adalah anak-anak berusia dibawah 18 tahun. 57 diantaranya adalah bayi berusia di bawah 5 tahun. Rata-rata pernah berada di pusat tahanan imigrasi selama 3 – 6 bulan. Bahkan ada satu kasus di DTI Menggatal, seorang bayi yang lahir di dalam, baru dideportasi ketika umurnya 3 tahun 8 bulan. Masa penahanan mereka tidak berbeda dengan orang dewasa. Anak-anak juga menjadi korban dari praktik penahanan berlarut-larut (prolonged detention).
Tidak ada blok khusus anak-anak, mereka semua ditahan di blok orang dewasa. Tahanan yang berusia di bawah 14 tahun akan ditempatkan bersama orang tuanya. Setidaknya kami menemukan tiga orang anak yang orang tuanya meninggal di pusat tahanan imigrasi. Dua kakak-beradik laki berusia 5 dan 9 tahun, bapaknya meninggal di Blok 9 DTI Tawau. Satu anak perempuan berusia 7 tahun ibunya meninggal di DTI Sandakan. Ketiga anak itu tidak pernah ditransfer ke fasilitas lain di luar tahanan imigrasi. Ketiganya tetap ditahan sampai akhirnya proses deportasi dilakukan. Kami juga menemukan beberapa anak-anak yang lahir di dalam pusat tahanan imigrasi. Di DTI Papar, seorang anak yang lahir di dalam tahanan imigrasi baru dideportasi bersama ibunya setelah usia-nya hampir 4 tahun. Tidak ada satupun anak yang lahir di dalam pusat tahanan imigrasi yang mendapatkan surat kelahiran.
Anak-anak harus mendekam di dalam blok tahanan orang dewasa dalam kondisi yang buruk. Lingkungan yang penuh sesak, berisik, lembab, bau dan beberapa tidak pernah mendapatkan cahaya matahari. Mereka harus tidur di lantai tanpa matras. Terkadang orang tuanya membuat alas dari sampah plastik atau kardus. Bayi berusia di bawah lima tahun hanya mendapatkan dua buah diapers setiap bulannya. Mereka juga tidak pernah mendapatkan makanan dan susu khusus anak-anak. Sehingga banyak anak-anak yang dideportasi menderita malnutrisi dan berbagai penyakit kulit.
Penahanan anak-anak bersama dengan orang dewasa telah melanggar hukum internasional yang mensyaratkan pemisahan antara tahanan anak-anak dan tahanan orang dewasa. Lebih dari itu, penahanan anak-anak hanya bisa dilakukan sebagai upaya/pilihan terakhir yang diambil dalam kondisi khusus yang mendesak, dan untuk jangka waktu yang sesingkat-singkatnya. Sementara anak-anak di dalam pusat tahanan imigrasi Sabah harus menunggu proses deportasi sebagaimana halnya orang dewasa, sehingga banyak dari anak-anak tersebut yang ditahan selama berbulan-bulan bahkan lebih dari tiga tahun. Tidak ada satupun anak-anak yang yang ditahan mendapatkan aktivitas pendidikan maupun rekreasi yang disediakan pusat tahanan imigrasi. Ditahan di blok dewasa dengan kondisi yang sangat buruk membuat mereka tidak memiliki ruang aman untuk melalui masa tumbuh kembangnya dengan baik.
Perempuan deportan juga menceritakan persoalan-persoalan mereka terkait kesehatan reproduksi. Terbatasnya air bersih membuat mereka selalu kesulitan ketika menstruasi. Sehingga sulit bagi mereka untuk menjaga higienitas dan membuat mereka rentan terkena berbagai infeksi. Beberapa menyebutkan persoalan menstruasi yang tidak teratur. Bahkan ada beberapa yang selama berbulan-bulan di tahanan imigrasi tidak pernah lagi mengalami menstruasi. Setiap tahanan perempuan hanya diberikan dua buah pembalut ketika masuk ke tahanan imigrasi.
Kami menemukan paling tidak 4 perempuan deportan warga negara Indonesia mengalami keguguran di DTI Papar Kimanis, dan 1 mengalami keguguran di penjara Kepayan. Hampir seluruh perempuan hamil dan baru melahirkan menderita gejala malnutrisi. Hal ini selain karena kondisi buruk di dalam masa penahanan, kualitas makanan yang buruk, dan tidak ada makanan tambahan bagi perempuan hamil dan baru melahirkan.
Sebagian perempuan deportan kehilangan sebagian besar hartanya ketika tertangkap. Hasil kerja keras mereka selama ini hilang atau dirampas ketika tertangkap dan ditahan. Sebagian harta mereka juga tertinggal di Sabah.
Rekomendasi
Meyakini bahwa semua orang yang menjalani semua bentuk penahanan dan pemenjaraan harus diperlakukan secara manusiawi dengan mengormati martabat kemanusiaannya, dan berlandaskan nilai- nilai kemanusiaan, kami merekomendasikan:
Kepada Pihak yang berwenang di Sabah, Malaysia, untuk menerapkan prosedur legal dan administrasi serta mengerahkan sumberdaya yang diperlukan untuk:
[1]. Menghindarkan penangkapan yang sewenang-wenang.
Termasuk di dalamnya:
• Menerapkan azas praduga tak bersalah, dan memastikan dipenuhinya hak-hak tersangka, dan
memberikan akses layanan informasi dan bantuan hukum kepada migran yang ditangkap.
• Memberikan waktu yang masuk akal bagi orang yang ditangkap untuk membuktikan dokumentasinya; mengingat -kenyataan yang diketahui luas- banyaknya migran yang tidak
menyimpan dokumennya sendiri melainkan ditahan oleh majikan.
• Memastikan migran yang ditangkap diperiksa secara seksama secara individual, dan bukannya
penangkapan dan pemeriksaan kolektif; jikapun perlu ditahan, dia mengetahui alasan dan jangka
waktu penahanannya, dan hendaknya diadili segera.
• Mengingat penangkapan dan penahanan besar-besaran menyebabkan persoalan kepadatan di
tempat penahanan (kepolisian, tempat tahanan imigrasi) dan persoalan lain yang mengikutinya,
penahanan perlu dipertimbangkan sebagai pilihan terakhir. Kelompok rentan (lanjut usia, kanak- kanak, difable, perempuan, perempuan; dan orang-orang yang bermaksud meninggalkan Sabah) hendaknya dikecualikan dari penahanan.
[2]. Memperbaiki keadaan dan perlakuan terhadap tahanan di fasilitas penahanan imigrasi.
Termasuk di dalamnya:
• Menyediakan tempat tahanan dengan fasilitas dasar (ruang tahanan, tempat tidur, makanan, air
minum, pakaian, toilet) yang layak dan dalam jumlah cukup, agar tahanan –meskipun kemerdekaannya sedang dibatasi- dapat hidup secara bermartabat. Kekurangan makanan dan berbagai kebutuhan dasar menyebabkan berlangsungnya jual-beli barang kebutuhan dasar dengan harga tinggi. Persoalan pencemaran sumber air terutama di DTI Papar Kimanis, yang merugikan kesehatan, perlu segera diatasi.
• Perbaikan fasilitas kesehatan di DTI, memperbanyak kunjungan tenaga kesehatan, dan memudahkan akses ke rumah sakit untuk mencegah kematian yang dapat dicegah.
• Meninjau ulang dan menghentikan penghukuman cambuk, yang menyebabkan derita sakit; dan pemborgolan. Memastikan tidak terjadi lagi kejadian penyiksaan serta perlakuan dan penghukuman yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat manusia.
• Menyediakan kemudahan dan kesempatan agar penghuni DTI dapat tetap berkomunikasi dengan keluarga dan kerabatnya.
• Memberikan kemudahan dan kesempatan agar penghuni DTI dapat berkomunikasi dengan penasehat hukum dan perwakilan Republik Indonesia di Sabah.
• Memperbaiki administrasi di fasilitas penahanan, untuk memastikan barang-barang milik tahanan dikembalikan kepada pemiliknya.
• Memperbaiki administrasi di fasilitas penahanan, agar penghuni DTI tidak ditahan melampaui seharusnya.
• Bekerjasama dengan perwakilan Republik Indonesia di Sabah untuk menyegerakan deportasi warga Indonesia yang sudah menjalani masa penahanannya atau masa hukumannya.
Perwakilan Republik Indonesia di Sabah, Malaysia, untuk:
• Menyediakan lebih banyak tenaga yang memberikan layanan informasi dan bantuan hukum, guna
memastikan dipenuhinya hak-hak legal dari migran asal Indonesia yang ditangkap dan ditahan.
• Memastikan agar pihak keluarga mengetahui keberadaan dan keadaan dari migran asal Indonesia
yang ditangkap, ditahan, dan mengalami kematian di dalam tahanan.
• Bekerjasama dengan pihak berwenang di Sabah, Malaysia, untuk pemulangan segera warga yang
dideportasi dari Sabah, Malaysia.
Sumber: Siaran Pers KBMB